Skip to main content

PANJAT TEBING: MEET UP WITH ROCK MASTER INDONESIA


     Dalam dunia panjat memanjat, bukanlah hal yang baru bagi saya. Cerita saya tentang panjat tebing atau gunung batu via Ferrata masih hangat dan boleh dibaca kembali pada blog saya ini. Singkatnya saya telah berulang kali menjajal panjat tebing dan masih ingin mencobanya lagi dan lagi..

     Sejak percobaan pertama mengunjungi Gunung Parang untuk panjat tebing, seorang kawan menyarankan untuk ikut serta dengan kakaknya yang juga seorang pegiat panjat tebing, tak hanya itu, ia juga selalu bersemangat menunjukkan foto-foto pemanjatan sang kakak. Belum pernah sekalipun saya gubris hingga pertengahan Januari lalu saya utarakan maksud untuk ikut dalam pemanjatan bersamanya. Pak Herry menyambut baik keinginan saya, dengan sigap ia menelepon kakaknya dan memaksa saya untuk berbicara langsung. Setelah hari itu, saya ajak beberapa teman yang telah berpengalaman dalam panjat memanjat untuk bergabung bersama dalam kegiatan kali ini.

     Menurut Pak Herry, sang kakak selalu menghabiskan waktu luangnya dengan memanjat, panjat tebing maksudnya. Sejak kecil ia asyik menekuni dunia panjat memanjat, tak segan-segan tembok rumah orangtuanya ia pasangi point panjat tradisional demi menyalurkan hobi panjat memanjatnya.

     Dua teman saya antusias untuk bergabung, Alma dan Zizi. Mereka merupakan salah dua teman-teman panjat di Gunung Parang lalu. Bukan tanpa alasan mereka yang saya ajak, mereka telah berpengalaman dalam dunia panjat memanjat dan satu lagi, kegiatan nebeng alias ikut-ikutan dalam rombongan orang merupakan hal yang baru bagi saya, intinya saya ingin mereka adalah teman-teman yang telah saya percaya dan berpengalaman. Seberes proses lobby sana sini, kami beralih melalui media komunikasi  WhatsApp grup, memang canggih sekali perkembangan teknologi saat ini, tanpa basa basi kami serbu sang kakak Pak Herry, Om Youdie dengan berbagai pertanyaan seputar panjat tebing, tak segan beliau menjawab pertanyaan kami mulai dari pertanyaan penting hingga pertanyaan yang paling konyol, “Om, tali panjatnya kuat menahan berat badan saya nggak ya? Saya gendut soalnya.. hehe..”. Sempat kami tanyakan perihal peralatan panjat yang perlu kami bawa, “Kalau nggak punya alat, ya nggak perlu bawa, kan nggak punya,” begitu jawab Om Youdie, masuk akal ya, jadilah kami hanya direkomendasikan untuk mempersiapkan fisik dengan baik, rasanya memang itu saja yang dapat kami siapkan, hahaha.


     Saya memilih untuk bermalam di rumah Zizi dengan alasan lebih dekat ke lokasi. Saya dan Zizi berkemas layaknya akan berangkat piknik, bekal makanan yang paling banyak. Selepas pamit dengan orang tua Zizi, kami menuju Polsek Klapanunggal, jalanan Kota Bogor lumayan lengang, saya tawarkan Zizi untuk bergantian mengemudi motornya, ia menolak. Saya tak punya SIM, lagi pula tak mahir, ya baiklah, saya senang juga dibonceng, hihihi. Dari Polsek Klapanunggal, kami masih bermotor 15 menit menuju Tebing Arpam. Jalur motor masih bisa dilalui hingga kurang lebih 300m menuju bibir tebing. Tebing ini tepat berada di sebuah lokasi bekas penambangan batu kapur, di wilayah sekitarnya masih terdapat banyak truk-truk pengangkut, mungkin tengah dijadikan tempat menambang batu kapur, ya. 

     Kami janji bertemu di Polsek Klapanunggal jam 09.00 pada 16 Februari 2020. Alma datang paling akhir, kemudian kami berkenalan dengan pemanjat yang ada dalam rombongan. Jalan kaki menuju tebing kira-kira 10 menit saja, dalam bulan-bulan penghujan ini jalur tergenang, kami melalui tanah yang agak banjir, kubangan yang agak meluap namun matahari pagi itu sangat cerah, kami penuhi kelakar yang jahil disertai ritual wajib yakni berfoto untuk mencairkan suasana di antara jalur-jalur ini.

Ceritanya candid
Bersama Pak Herry Horeee 
    
     Saya tak menduga, ternyata telah ramai para pemanjat yang sedang mempersiapkan pemanjatan, ada juga pemanjat yang telah bermalam dengan membangun tenda. Segera para pemanjat ini menggelar alat panjat, memasang peralatan, dan lain-lain. Kami juga ikut sibuk, sibuk menggelar makanan bekal yang dibawa. Hehehe. Kami menonton para pemanjat memasang point pada dinding tebing, Om Youdie cekatan dan cepat sekali memasang point pada jalur panjat. 

     Zizi ambil urutan pertama memanjat kemudian memasang peralatan panjat seperti hardness, chalk bag, dan sepatu panjat. Seorang belayer bertugas mem-back up juga ikut mempersiapkan diri. Zizi mulai menaiki dinding panjat, kami bersorak sorai menyemangati, para pemanjat yang saya ketahui belakangan adalah para Rock Master ini juga memberi arahan langkah agar sampai pada titik panjat yang ditentukan. “Gila, sumpah deh, ini seru banget!” begitu komentarnya setelah menuruni tebing. Kami tertawa-tawa membahas pemanjatan Zizi yang lumayan itu. Alma juga tak kalah keren, pada pemanjatannya sorak sorai riuh gemuruh menggema di seantero tebing, ahahha… (lebay sekalee) bagaimana tidak, kegiatan panjat ditemani alunan musik dari berbagai genre, benar-benar membahana! belum lagi Pak Herry yang berpuas diri menjadi ‘tim hore’ hore-hore sendiri, hahaha, ia berkisah sedang cidera kaki padahal ia takut ketinggian. Alma yang berkaki lumayan pendek dan mengaku berbadan gendut itu nyatanya tetap lincah dalam percobaan pertama, hanya terganjal bagian-bagian tubuh yang agak berat diangkat, (ups!). Saya sendiri menjajal ketinggian yang kurang lebih 10m ini dengan lumayan berani, berbeda sekali dengan panjat tebing via Ferrata tempo dulu, kali ini saya harus benar-benar mendengarkan arahan dari penonton supaya saya memijakkan kaki pada pijakan yang tepat dan dapat menopang tubuh, kekuatan tangan juga diuji untuk menarik beban tubuh, selebihnya kaki digunakan untuk menjadi topangan utama. 

Zizi in action 

Alma in action
     Selepas memanjat, kami menonton para pemanjat lain melakukan pemanjatan. Kegiatan menonton ini juga bermanfaat lho, kita dapat mengamati teknik yang tepat dalam menentukan pijakan, teknik berpegangan, bahkan teknik beristirahat. Tengah hari matahari mulai meninggalkan kami berganti hujan intensitas sedang. Seraya makan makanan bekal, kami survei tempat salat di sekitar tebing, terdapat sebuah musala yang mirip pendopo lengkap dengan perlengkapan salat. Memang belum terdapat tempat wudu, kami pun berwudu seadanya. Untuk kebutuhan toilet, awalnya kami harus berjalan kaki kembali ke warung tempat motor kami diparkir, bukan toilet sungguhan, namun terdapat penutupnya. Akhirnya kami putuskan untuk membuat toilet alami di dekat pendopo saja, dengan mengandalkan pohon atau semak belukar sebagai penutupnya.

     Jelang sore, rupanya masih ada beberapa pemanjat yang berdatangan ke sini. Mereka tak punya jadwal khusus kapan memulai dan berakhir, “Selama bisa manjat, ya manjat aja”, sungguh prinsip pecinta sejati. Mayoritas para pemanjat ini sudah lewat setengah abad usianya, paling tua sekitar 60 tahun. Pemanjat muda, dapat dihitung jari, termasuk seorang pemanjat cilik yang ikut ayah ibunya memanjat hari itu. Bertemu dengan pendaki yang mengajak anak-anak dalam pendakian, sudah biasa. Yang belum biasa, bertemu para pemanjat yang hampir berusia lanjut dan tetap memanjat, kegiatan panjat tebing di alam bebas yang mungkin saja berbahaya, nyatanya mereka lakukan dengan standar keamanan yang tepat dan dalam stamina yang prima. Salute!  
Om Youdie in action
Om Kamran in action
     Pada percobaan selanjutnya saya kembali memanjat dengan back up seorang Om belayer. Dengan jalur panjat yang berbeda dan lebih tinggi dari sebelumnya, saya berusaha menerapkan teknik berpegangan dan berpijak dengan tepat. Teknik berpegangan dengan berbagai macam cara pun diteriakkan oleh para penonton, teknik berpijak juga sama, penempatan kaki agar kuat menopang tubuh. Pada obstacle mendekati titik akhir, saya terus berpegangan dan berpindah pijakan, saya memindahkan pegangan dan ketika kaki hampir memijak pada pijakan baru, saya terjatuh! kaget bukan kepalang, beberapa detik rasanya jantung saya berhenti berdetak! namun saya menggantung! menggantung sambil terus menubruk-nubruk dinding tebing. Sorak sorai penonton memadati arena, hahaha… setelah sadar dari kekagetan luar biasa itu, saya diarahkan menuruni tebing dengan teknik yang tepat juga. Setibanya di bawah, saya langsung disuruh menonton pemanjat lain dengan teliti, hahaha, “Untung ada Om belayer,” begitu kata saya dalam hati. Seorang belayer bertugas mengamankan pemanjat, perannya sangat penting dan memiliki teknik khusus selama proses pemanjatan berlangsung dan adanya rasa saling percaya antara pemanjat dan belayer.  

Nah, kira-kira sudah setinggi ini
Tiba-tiba jatuh!😨😨


     Dua menit renungan saya isi dengan mengenal proses panjat tebing ini lebih jauh. Panjat tebing melatih pemanjat untuk sampai pada point tertentu persis perjalanan hidup manusia yang terus bergerak mencapai tujuan tertentu. Bermacam halang rintang yang terdapat dalam jalurnya, memaksa kita untuk kerap berpikir dan berstrategi melalui halang rintang dengan selamat, kadang mudah, kadang sulit. Bahkan ketika kita jatuh sekalipun, masih ada seorang belayer yang akan menjalankan tugasnya dengan baik. Bukankah hidup kita juga begitu? Manusia dihadapkan begitu banyak masalah yang perlu dihadapi dengan pikiran dan strategi yang baik juga positif, dan meskipun kita tak dapat menghadapinya sendiri, ingat, masih ada orang lain di luar sana yang dapat membantu kita untuk bangkit dan kembali menata hidup dengan baik. “There is always someone with solution out there” (Suhardono, 2019:44).

     Hujan menetap hingga senja menyapa. Kami berbenah untuk pulang tak lupa berfoto ria disusul saling bertukar kontak. Setiap kesempatan mengenal hal baru, mengenal orang-orang baru, mengenal dan mencecap pengalaman baru memang menyenangkan. Saya percaya, tiap perjalanan miliki kisahnya sendiri, bersemangatlah untuk tetap berjalan, bersemangatlah untuk menebar manfaat. Om-Om Rock Master, kalian telah menebar inspirasi untuk tetap sehat, tetap berdaya, dan tetap berkarya. 
Panjat tebing, kami pastikan untuk kembali lagi! πŸ’ͺπŸ˜‰

Foto bersama Rock Master Indonesia


Daftar bacaan
Suhardono, Rene. 2019. Your Journey To Be The Ultimate3U. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. 

Comments

  1. Terjemahin ke bhs Inggris donk.Rock climbing adalah olah raga yang bertujuan untuk cinta alam dan mensyukuri nikmat Allah SWT jadi kalo bisa jangan sampai merusak alam dan juga rock climbing juga membuat kita jadi tahu bagaimana cara memecahkan masalah ketika kita didalam keadaan yang paling sesulit apapun. Viva rock climbing.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Halo Pak Heerrr... hihhi :D
      Terima kasih telah membaca ya. Semoga bermanfaat.
      Boleh dong, yuk bantu terjemahkan yaaaaa.
      Jangan sampai merusak alam. Setuju 100%.

      Viva Rock Climbing!

      Delete
  2. Salute! Ga kebayang aku berani panjat tebing di tebing berbatu spt itu. Mending masak aja deh πŸ˜‚

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hi Kak Imoeng. Terima kasih sudah baca ya... Semoga bermanfaat.
      Aku masak juga lho di sana, goreng pisang aja, sih. Hihihi..
      Yukk, ajari aku masak nanti ya, πŸ˜‰πŸ‘

      Delete
  3. Keren banget taz, tulisannya amat rapi dan terperinci membuat gue yang disini merasakan juga atmosfer disana, sambil berkhayal hehe dan salut sama lu yang tak lupa menyisipkan hikmah disetiap perjalanan dengan kehidupan sehari-hari keren dah

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hi Cahaya Ela. Terima kasih sudah membaca ya.
      Semoga bermanfaat selalu, ya. πŸ˜ŠπŸ™

      Delete

Post a Comment