Skip to main content

BADEGA PART 2: JADI TOUR GUIDE


 Kira-kira dua lalu saya menjejakkan kaki di stasiun Purwakarta, menuju lokasi wisata panjat gunung batu Gunung Parang via Ferrata Badega. Kali ini saya kembali ke sini, halo Purwakarta, saya kembali!


Berkat hadiah ulang tahun berupa sleeping bag yang dibongkar di hadapan halayak ramai, teman bule saya yang berencana liburan outdoor, mengajak saya untuk berlibur bersama.  Saya tawarkan untuk mencoba panjat gunung batu via Ferrata, saya sudah pernah menulis tentang via Ferrata sebelumnya ya… silakan buka kembali pada tautan ini http://tazkaadiat.blogspot.com/2016/05/gunung-parang-purwakarta-badega-part-1.html.  Saya akan menempuh perjalanan yang kurang lebih sama seperti sebelumnya, bedanya kami akan pergi bertiga, seorang teman bule bersama anaknya. Dapat pembaca bayangkan, saya akan berlibur bersama teman-teman bule dan akan full berbahasa inggris selama bersama mereka, hihihi. Kami bertemu di stasiun Kemayoran, ia terlihat membawa sebuah kopor untuk berlibur, maklum liburan ini akan mereka habiskan juga di Bandung, tapi saya hanya akan membersamai hingga Purwakarta, jadi ke-riweuhan ini dinikmati saja.

Terik matahari mengantar kereta kami menuju Purwakarta, kereta agak penuh namun tidak sesak, kami duduk bersama penumpang lainnya. Beberapa penumpang lain mencoba beramah tamah dengan teman kami, ia ngobrol santai dengan seorang pemuda yang lumayan baik bahasa inggrisnya, tanpa goyah si kecil khusyuk membaca bukunya. Saya menanggapi dengan senyum bisik-bisik jahil penumpang lain yang ingin sekali mencoba menyapa, namun tak cukup berani berkata-kata.

Sekitar pukul 15.00 kami telah tiba di stasiun Purwakarta. Saya minta dijemput di stasiun, berbekal pengalaman sebelumnya, saya pikir lebih mudah jika kami dijemput langsung di stasiun, biaya antar jemput ke stasiun Purwakarta Rp500.000,- per mobil dengan maksimum jumlah 12 penumpang. Kami hanya bertiga, dijemput dengan city car kecil. Akang penjemput banyak bertanya tentang teman bule dan anaknya, di mana berjumpa, untuk apa ke Indonesia, pernah berlibur ke mana saja, sesekali teman bule saya menjawab dalam bahasa Indonesia yang mudah. Kurang lebih 1,5 jam kami telah menentukan tempat istirahat. Sedikit berbeda, Badega telah menyediakan pondokan kecil untuk menginap seharga Rp.50.000,- per orang per malam. Juga sebuah pondok besar dengan kamar mandi di dalam untuk kapasitas 10 orang dibanderol Rp.200.000,- per malam per orang (perlu cek lagi utk info ini). Kami memilih pondok kecil, sore itu kami berkeliling memandangi Badega yang telah berhias. Pondok kecil ini merupakan pembukaan lahan baru, terdapat rumah pohon juga di balik pondok ini, dan beberapa warung yang terdapat di dalam kawasan Badega, terlihat lebih rapi dan cantik.
Beramah tamah dengan pemilik warung 
Pondok tempat kami bermalam 
View dari pondok
Jelang malam, kami makan malam dan sekadar berbasa-basi dengan teteh kantin. Salaiknya bertemu dengan orang baru, beramah tamah kadang diperlukan. Selepas makan malam, kami berbincang tentang banyak hal, Ms. Diane ceritakan tentang pengalamannya bekerja di berbagai negara, masa mudanya yang ia habiskan untuk berpetualang, hingga saat ini nasib mengantarnya ke Indonesia. Malam itu ditutup dengan buku yang masing-masing mereka baca dan masing-masing menjelaskan isi bukunya, penutup malam yang manis antara ibu dan anak. 

Keesokan pagi, tepat pukul 07.00 kami bersiap menuju kantin di mana tempat kami di-brief dan memasang perlengkapan yang dibutuhkan. Kami diperkenalkan oleh seorang guide yang akan memandu perjalanan pemanjatan kali ini. Berhubung hari ini adalah hari senin, tak ada pengunjung lain selain kami, serasa milik sendiri. Akang guide tak banyak bicara dan menjelaskan, saya hanya menjawab jika ditanya, bukannya tak mau, trekking menghabiskan energi, jadi kami tak banyak bicara untuk terus menjaga energi kami hingga akhir. Pada saat memulai pemanjatan, Ms. Diane merasa agak takut, ia mengaku semakin tua usia, semakin takut akan ketinggian, untuk mengusir ketakutannya, ia mencoba menyanyikan lagu-lagu yang diingatnya. 




Urutan kami bertiga memang tak berubah, Akang guide pada urutan pertama diikuti si kecil Luciana, kemudian Ms. Diane dan saya sendiri pada urutan akhir. Lihatlah si kecil yang tak sedikitpun menunjukkan kengeriannya berada pada ketinggian, ia ikuti arahan Akang guide dengan penuh perhatian, kuncinya tetap tenang dan ikuti arahan dengan baik. Ah, pada pemanjatan kali ini tak seperti sebelumnya, kami mengambil paket panjang jalur 300m di mana jalur naik dan jalur turun berbeda. Teknik yang paling sulit ketika kami menemui jalur berbelok dan jalur horizontal, kami harus perhatikan betul cara berpindah dengan tepat, tak kalah sulit ketika kami harus menuruni tangga, kepala harus terus menunduk sekaligus menengok ke bawah untuk memastikan pijakan kami tepat.


Kelok yang ciamiiiik
Jalur horizontal


Siang harinya kami melihat beberapa pengunjung lain bersiap memulai pemanjatan, tak disangka langit menggelap, hujan turun begitu deras, dan petir saling menyambar. Kami tak dapat membayangkan para pemanjat tadi, mendoakan semoga mereka baik-baik saja.








Hari berikutnya Ms. Diane mengajak kami berkeliling desa sekitar Badega sebelum kepulangan. Berbekal informasi dari teteh kantin, kami mengunjungi sebuah sekolah terdekat dan diizinkan berbagi pengalaman sekitar 15 menit di dalam kelas. Ms. Diane penasaran bagaimana bahasa inggris diajarkan di sekolah ini, ia memperkenalkan diri dan memberi sesi singkat untuk mengajarkan bahasa inggris. Saya senyum-senyum sendiri menyaksikan dirinya berdiri di depan kelas secara sengaja dan sukarela berbagi dengan siswa-siswa di desa kecil di Indonesia. Senyum-senyum riang siswa Indonesia memancarkan harapan berbagi yang sangat sederhana. Kalau bisa kita lakukan sesuatu untuk kebaikan orang lain, kenapa tidak? Sehabis mengunjungi sekolah, kami berjalan-jalan sekitar desa, menjelajah hutan kecil yang belum dibuka, mengintip tempat penggilingan padi, menengok pemetik nangka sayur yang sempat ingin ia coba rasa buahnya, berbelanja jeruk di tukang sayur, berbincang dengan orang-orang tua, menyapa petani yang bekerja di sawah.

Sesi mengajar bahasa inggris

Berkeliling desa
 
Siang itu kami kembali bertolak ke stasiun Purwakarta. Perjalanan menuju stasiun diisi dengan perbincangan tentang desa dan kehidupan warga di sana. Kami berpisah di stasiun. Saya kembali ke Jakarta terlebih dahulu. Jadwal kereta menuju Bandung yang baru akan tiba 30 menit kemudian diisi dengan berkeliling dalam Museum Diorama Purwakarta, saya berpesan agar tak berlama-lama dan tidak terlambat menumpang kereta ke Bandung. Begitulah pengalaman menjadi tour guide pertama kali dan kedua kalinya menjajal panjat gunung di Gunung Parang via Ferrata. Terima kasih Badega, telah mengajarkan rindu berkali-kali untuk kembali, terima kasih Ms. Diane dan si kecil Lucy, telah mengajarkan kesederhanaan yang begitu manis. Sampai jumpa lagi!😉




Comments