Masih ingat Alma?
Teman memanjat Gunung Parang via Ferrata bulan Mei 2016 lalu?
iya, Aslamah Juwandari, saya lebih suka memanggilnya Alma karena lebih singkat.
Kami bertukar nomor WhatsApp waktu
itu yang kemudian berbagi kisah pendakian, ujungnya Anda dapat pastikan ya…
kami berencana untuk mendaki gunung
bersama!
Kami mulai menyusun rencana-rencana pendakian. Berbekal dari
membaca-baca review para blogger tentang pendakian gunung-gunung
di Jawa, Alma yang lebih dulu mendaki Gunung Sumbing pun akhirnya merekomendasikan
pendakian di Jawa Tengah, saya manut. Saya nyatakan siap ikut ke manapun ia melangkah, hahahha… sweet sekali bukan? Kami
sepakat untuk mendaki Gunung Merbabu pada bulan Oktober. Kurang lebih dua bulan
lamanya kami mempersiapkan pendakian. Alma bertugas mencari team leader, sementara saya memastikan
perjalanan Jakarta-Yogya aman terkendali. Selebihnya kami hanya perlu
mempersiapkan fisik masing-masing.
Jumat siang hampir sore kami menuju Stasiun Pasar Senen,
kereta kelas ekonomi menuju Lempuyangan yang jadi pilihan, bukannya tidak mau
pilih kelas bisnis atau eksekutif, selama masih ada pilihan kelas ekonomi, ya sayang
‘kan kalau dilewatkan, hihihi. Pluit panjang dibunyikan, tanda kereta siap
berangkat, terlihat beberapa muda mudi yang menggendong carrier masih berbaris rapi di lorong kereta mengatur bawaan di
bagasi. Saya dan Alma saling pandang kemudian saling lempar senyum berjuta
makna. Setelah turun dari pendakian pertama dan kedua, entah bagaimana
orang-orang ber-carrier ini seakan
menyihir mata saya di manapun mereka tertangkap oleh mata. Kadang di stasiun,
di terminal, di jalan, di manapun! rasanya seperti carrier-carrier gunung ini mengirim gelombang tak kasat mata
langsung ke otak saya untuk menoleh, sialnya lagi otak mengirim pesan kepada
hati untuk mengatakan, “Aduh, mau nanjak ke mana? Ikut doooooong!” maka
perhatikan mata saya yang sungguh berbinar ketika kalimat itu dibisikkan oleh
hati, hahhha. Nah, sekarang Anda paham ya makna dari ‘saling pandang’ dan
‘saling lempar senyum’ tadi?
Lepas dari Stasiun Lempuyangan, kami putuskan untuk mengisi
perut sebelum berjalan kaki menuju penginapan. Kami telah memesan kamar untuk menginap
di Jalan Malioboro, The Munajat Backpacker, tempat yang menyenangkan sekaligus
direkomendasikan untuk wisatawan backpacker
macam kami ini, silakan meluncur pada laman-laman perdagangan elektronik ya,
jika berminat untuk menginap di sana. Setelah selesai check in, kami segera membersihkan diri kemudian beristirahat
melepas lelah perjalanan hari ini.
Sabtu, 1 Oktober 2016, sekitar pukul 9.30 Andi mengabarkan
bahwa ia dan temannya akan segera menjemput kami. Andi bersama seorang teman,
Mukti, menjemput kami menuju kos Andi untuk bersiap mendaki. Di sana kami berkenalan dengan teman Andi
lainnya, Abi. Kami melakukan packing
ulang semua peralatan dan perlengkapan yang dibutuhkan agar beban terbagi
dengan cukup aman diangkut selama pendakian oleh seluruh anggota tim. Dalam tim
ini, hanya Andi lah yang pernah melakukan pendakian ke Gunung Merbabu, Alma,
Abi, dan saya sendiri hanya pernah naik gunung, sementara Mukti baru kali
pertama akan ikut naik gunung. Andi dan teman-temannya ini baru mulai berkuliah
lho, sedangkan saya dan Alma telah lulus kuliah sejak 2014 lalu.
Terik matahari siang melepas perjalanan kami menuju Basecamp
Selo. Dibutuhkan waktu sekitar 1,5 jam untuk sampai di sana namun baru setengah
jalan salah satu teman kami mengalami kecelakaan. Mukti jatuh dari motor yang
dikendarainya seorang diri, kurang jelas juga apa hal yang menjadi penyebabnya.
Mukti mengalami luka-luka di tangan dan kakinya, jelas ia tak bisa mengendarai
motornya lagi. Kami berhenti untuk mengobati seadanya. Kami tanyakan kepada
Mukti, cukup sanggupkah ia melanjutkan perjalanan? Ikut mendaki? Mukti menyanggupi.
Saya dan Alma ikut suara terbanyak. Kami melanjutkan perjalanan dengan sepakat
untuk melihat kondisi Mukti selanjutnya, jika ia menunjukkan kondisi yang
kurang baik, maka Mukti akan beristirahat saja di basecamp. Seakan memahami kesedihan kami, hujan deras mengguyur
sisa perjalanan, kami basah kuyup sebelum tiba di basecamp.
Menjelang magrib akhirnya kami tiba di basecamp, cepat-cepat kami mengganti baju kemudian menghangatkan
diri. Kami pastikan untuk memeriksa kondisi Mukti, ia menunjukkan kondisi baik,
ia ingin ikut mendaki. Kami segera berkemas dan mempersiapkan diri. Untuk kali
pertama dalam sejarah pendakian, saya akan mulai mendaki di malam gelap, kami
berdoa dan bersiap untuk memulai pendakian. Kira-kira bakda Isya kami mulai
mendaki. Keuntungan mendaki di malam hari tentunya hanya fokus pada jalur yang
akan dipijak oleh kaki. Keuntungan lainnya kami dapat menikmati pemandangan
malam wilayah sekitaran kaki Gunung Merbabu seiring meningkatnya ketinggian,
kami juga tidak memedulikan waktu, kami berjalan terus hingga hanya
kelelahanlah yang menghentikan kami. Yang lebih menyenangkan, kondisi jalur
saat itu sangat kering, ternyata di sini tak hujan sama sekali, sungguh
kemudahan yang menguntungkan, bukan?
Sekitar pukul 23.00 kami memutuskan untuk berhenti dan
membangun tenda. Kalau saya tidak salah ingat, kami membangun tenda di jalur
antara Pos 1 dan Pos 2. Tidak sendiri, di sana juga telah banyak tenda yang
didirikan oleh pendaki, mungkin mereka juga kelelahan untuk melanjutkan. Bahkan
setelah kami memutuskan untuk tidur, masih terdengar derap langkah pendaki lain
yang berdatangan dan membangun tenda.
Sinar matahari yang jatuh perlahan diam-diam merayap dari
balik tenda kami. Kumpulan awan bergumpal-gumpal seakan berebut mengelilingi
gagahnya Gunung Merapi. Kami tak mau melewatkan keindahannya begitu saja, duduk
bermandikan cahaya matahari sambil memasak sarapan, ngobrol ngalor ngidul dengan teman-teman pendakian, sungguh
kenikmatan yang haqiqi, hahaha.
Berburu sunrise |
gagahnya Merapi |
Kami sepakat untuk berangkat menuju puncak Kenteng Songo.
Mukti memutuskan untuk tinggal di tenda karena kondisi kesehatannya. Cuaca
masih sangat cerah ketika kami berangkat menuju Pos 2. Kontur jalur memiliki
kemiringan yang lumayan untuk tiba di sabana 1 dan sabana 2, sabana merupakan padang rumput yang
dikelilingi oleh pohon-pohon yang tumbuhnya menyebar, dan biasanya pohon-pohon
seperti pohon palem dan akasia. Sementara jenis tanah yang mendominasi
ialah tanah Andosol, merupakan tanah
yang berwarna hitam atau coklat tua, struktur remah, kadar bahan organik
tinggi, apabila dipirid terasa licin (smeary). Sesampainya di sabana 1, Andi mengatakan
terdapat dua jalur untuk menuju Sabana 2, kami berpencar untuk bertemu lagi di sabana
2. Dari sini, kabut mulai turun. Kami beradu cepat dengan kabut untuk menjepret
foto-foto pemandangan di sabana.
sebelum pisah jalur |
ketika pisah jalur |
Sabana cantik |
Mendekati puncak, kabut tebal hampir
menutup jarak pandang kami, hujan yang awalnya rintik disusul kemudian
menderas. Kami mempercepat langkah, memang agak berat dan lelah, Alma yang
beralasan ngantuk meminta untuk kembali turun sendirian namun kami tolak, bukan
tanpa alasan, kami telah meninggalkan seorang teman di tenda, tak mungkin
membiarkan seorang lainnya terpisah di jalur, untunglah Alma paham. Hujan masih
menemani kami hinga di puncak Kentheng Songo, beberapa pendaki lain juga
terlihat tengah beristirahat dan bersiap turun kembali dari puncak.
hujan dan kabut terus menemani |
Puas berfoto dan melihat-lihat sekeliling,
kami segera kembali turun. Awalnya kami masih berjalan bersama-sama namun kabut
semakin menebal hingga benar-benar menghalangi jarak pandang, Abi yang memimpin
di depan tak terlihat lagi. Melintas Sabana 1 kami kehabisan air minum, tak
segan kami minta air kepada salah satu pendaki yang tengah bertenda di sana,
eits masih sempat-sempatnya berfoto, lho.
setelah minta air |
Kira-kira lewat tengah hari kami kembali ke
tenda, Mukti mengaku masih baik-baik saja, kami tanyakan alasan Abi tak
terlihat lagi saat menuruni puncak tadi, ia berjalan terlalu cepat juga kabut yang
terus turun membuatnya takut. Kami beristirahat sejenak dan memutuskan untuk
segera membongkar tenda. Sungguh tak terduga, angin kencang disertai hujan mendadak
menerpa, benda-benda beterbangan, para pendaki yang masih berlindung di dalam
tenda juga mulai gusar, memastikan agar pasak tenda terpasang kuat, agar tendanya
tak terbang terbawa angin, mungkin kami diterpa badai, ya.
Lagi, awalnya kami masih bersama-sama dalam
jalur untuk kembali ke basecamp. Abi
memimpin, Andi dan Mukti beberapa meter jaraknya di depan saya dan Alma. Sesekali
Andi memastikan kami masih ada di belakangnya. Hari mulai gelap, hujan sedari
tadi belum juga beranjak pergi, jalur menjadi sangat licin sehingga memperlambat
langkah kami. Andi sesekali terlihat namun kondisi kesehatan Mukti semakin memburuk
hingga memaksa Andi untuk segera turun. Sementara saya dan Alma juga kelelahan.
Kami berdua sering memutuskan untuk beristirahat tanpa sepengetahuan Andi, di
dalam hutan saya diselimuti perasaan takut, saya seperti melihat seseorang
tengah memperhatikan kami, begitu mendekat, ternyata hanya sebatang pohon. Beberapa
pendaki lain yang melewati kami menanyakan di mana teman-teman lain dalam
kelompok kami, kami berdua menjawab enteng, “Ada, di depan”. Saya dan Alma
terus berjalan, saya lemah, begitupun Alma, saya sempat terpeleset dan sedih
sendiri, Alma terus mendampingi. Setibanya di Gancik, Andi dan Mukti menunggu
kami, ia pastikan kami baik-baik saja, ya, kami memang baik-baik saja, tapi
sedih sendiri. Kemudian kami lanjutkan perjalanan yang kurang lebih 500m saja
menuju basecamp, Alma minta berjalan
perlahan, Andi dan Mukti melanjutkan lebih dulu, lucunya lagi Alma melepas
sepatunya karena jalur telah berganti semen, ia pikir akan lebih ringan
melangkah. Berjalan 5 menit, ia memilih untuk memakai lagi sepatunya, aneh
bukan? Alma mulai meracau, bertanya macam-macam tentang hal yang dilihatnya di
tengah gelapnya perkebunan sayur itu. Saya terus berjalan seraya menjawab, “Nggak ada apa-apa, kok, ayo jalan!” bukan,
bukannya berbohong, tapi dalam hal seperti ini, meskipun saya takut luar biasa,
kami hanya berdua, kalau dia takut, maka saya harus berani. Apa jadinya kalau
kami semua takut? hahaha π.
Sekitar pukul 19.30 kami tiba di basecamp. Abi menyambut kedatangan kami
dengan tersipu-sipu malu. Beberapa pendaki lain juga menyambut kami, menyadari
situasi yang tercipta di antara anggota kelompok kami. Andi dan Mukti yang
terlihat menyeruput minuman hangat seraya melepas lelah. Saya segera membersihkan
diri dan merapel salat-salat yang tertinggal. Andi dan teman-teman lain
merebahkan diri untuk istirahat, saya melipir ke bagian belakang rumah yang
terdapat tungku api, lebih tepatnya ini bagian dapur mungkin, ya. Beberapa
pendaki lain yang tengah duduk-duduk di sekitar tungku terlihat sedang
menghangatkan diri. Saya senyum-senyum menyapa mereka tanda ikut bergabung di
sana. Awalnya kami mengobrol tentang cuaca hari ini, cerita pendakian, dan
lain-lain, lama-lama diskusi serius tentang ‘orang yang paling berjasa dalam
hidup’. Seorang mahasiswa—asal Purwodadi? atau Purworejo? ah lupa—yang lumayan
cerdas mengguratkan keyakinan dan harapan dalam setiap kalimatnya. Seorang
pendaki yang lebih senior kalang kabut menjawab kalimat-kalimat mahasiswa itu. Ah,
saya senyum-senyum sendiri mengingatnya lagiπ . Hampir tengah malam, Andi dan
teman-teman memutuskan untuk kembali pulang. Kepulangan kami diantar oleh
beberapa pendaki lain di sekitaran tungku tadi. Kami kembali bermotor menuju Yogyakarta.
Kami berpisah dengan Mukti di jalan, tak ingat betul di mana persisnya.
Alma berkisah sebelum kami terlelap pagi itu, Abi
meminta maaf karena bertindak ceroboh meninggalkan kami berdua ketika
perjalanan turun. Ia tak ingin keburu gelap di jalur, maka ia cepat-cepat turun
dan mengaku belum pernah mendaki bersama perempuan. Alma menerima permintaan
maafnya, tak lupa untuk sedikit menasihati Abi ke depannya agar lebih peduli dan
memiliki tenggang rasa di antara anggota kelompok. Well, semua orang pernah melakukan kesalahan, saya sendiri tak
luput dari kesalahan, yang terpenting adalah belajar untuk memperbaikinya dari
waktu ke waktu. Pembaca sekalian, saya sadar kegiatan alam bebas penuh risiko, saya siap
dengan semua risikonya, dari perjalanan ini setidaknya saya bersyukur dan
belajar banyak hal, belajar mengenal kawan seperjalanan, belajar bertahan dalam
kondisi apapun, dan tentunya belajar mengelola ego diri sendiri. Silakan Anda mengambil
pelajaran yang paling berharga menurut Anda, ya. Alma yang jatuh cinta pada keindahan
Merbabu, kembali mendaki setahun kemudian. Saya sendiri belum memastikan kapan
akan kembali ke sana, semoga, segera! π
Daftar Bacaan
Akbar Asfihan. “Sabana adalah”. Diakses pada 8 April 2020 dari
https://adalah.co.id/sabana/
Sungguh pengalaman yang menyenangkan sekaligus menegangkan. Waktu kamu cerita malam malam menyusuri hutan, aku jadi inget saat ikut "jurit lail" di pesantren dulu. Mirip mirip gitulah, jalan sendirian di tengah hutan. Hanya bedanya di kegiatan itu "hal hal menakutkan" sengaja diciptakan dan kita berjalan di bawah pengawasan kakak kakak pembina. Mereka mengawasi dari kejauhan. Jd tetep aja kita berasa berjalan sendiri. Tp ga sebanding lah dengan pengalaman kamu. Sok atuh kapan mau mendaki lagi. Siapa tau ketemu "dia" di pendakian π
ReplyDeleteHi lagi Kak Imoeng. Terima kasih telah membaca, ya. Semoga bermanfaat.
DeleteKetemu "dia" yang mana nih? Si Sebatang pohon? Hihihih π