Skip to main content

R Hotel Rancamaya: Menginap Ala Bangsawan


Menginap di hotel berbintang belum pernah jadi pilihan liburan saya. Lagi pula, sejak kapan sih waktu liburan harus dimanfaatkan dengan kegiatan ekstrem, menantang, bahkan mevvah? Dulu sekali, waktu liburan dan waktu sekolah tidak ada bedanya, paling jauh saya habiskan liburan menginap di rumah kakek, itu pun jaraknya hanya 50 menit dari rumah, main dengan sepupu-sepupu, atau sesekali ke mal sekitar. Semasa SMP hingga kuliah saya senang sekali menyambut liburan sekolah, pada waktu-waktu tersebutlah saya manfaatkan mengantar bapak ke rumah sakit untuk hemodialisis. Beliau terdiagnosa gagal ginjal, selama delapan tahun tiga bulan tanpa absen sekali pun ia jalani cuci darah dua kali seminggu. Kesempatan emas yang tak pernah saya lewatkan untuk membersamainya, kecuali kalau malas mendera. Praktis, liburan bagi saya tak ada momen se-istimewa pergi ke Jakarta mengantar berobat (maklum kami tinggal di desa nun jauh dari kota, hihihi).

Kembali ke pertanyaan awal, sejak kapan sih waktu liburan harus dimanfaatkan dengan kegiatan ekstrem, menantang, bahkan mevvah? mungkin sejak ramai orang menggunakan media sosial. Segala kegiatan yang dialami merasa perlu disebarluaskan. Merasa perlu mendapat likes, komen, dan seribu pengakuan lainnya oleh teman sesama pengguna media sosial. Kepentingan diapresiasi atas apa yang dilakukan dan diunggah ke media sosial menurut hemat saya, membuat kita secara tidak sadar menjadi sedikit ‘sakit’.

“Banjir bandang informasi ekstrem ini telah mengkondisikan kita untuk percaya bahwa keistimewaan adalah suatu standar kehormatan yang baru. Dan karena kita adalah orang yang biasa-biasa saja, luapan informasi yang memuat segala hal yang istimewa ini membuat kita merasa rapuh dan putus asa, karena jelas, kita, bagaimana pun juga, tidak cukup bagus. Jadi semakin lama, kita semakin merasa perlu untuk mendapatkan kompensasi melalui pengistimewaan diri dan aneka ketergantungan. Kita menggunakan satu-satunya cara yang kita anggap benar: entah dengan mengistimewakan diri atau mengistimewakan orang lain.” (Manson, 2018:69)

Baca lagi perlahan-lahan, kata kunci pada pengistimewaan diri dan aneka ketergantungan. Secara sadar pernyataan Manson kita amini bersama, sedikit ‘sakit’ atas hal yang dilakukan untuk  mengistimewakan diri atau mengistimewakan orang lain. Saya pengguna media sosial, terdapat banyak manfaat juga yang saya rasakan namun media sosial tidak untuk mengistimewakan diri, orang lain, juga aneka ketergantungan lainnya. Saya lebih menikmati hubungan pertemanan dalam perjumpaan, bertukar pikiran, menghabiskan waktu berlama-lama dalam obrolan mendalam. Well, saat ini liburan menjadi waktu khusus bagi saya. Yang biasanya jarang olahraga, waktu liburan saya isi dengan berolahraga, yang biasanya buku bacaan tak habis-habis, saya habiskan berbuku-buku, yang biasanya tak ada waktu mendengar keluh kesah ibu, saya habiskan untuk mendengarnya dan tawarkan solusi praktis, tapi nyaris beberapa tahun terakhir saya sempatkan liburan dengan berkegiatan di alam bebas. Liburan kali ini saya ditawari untuk menghabiskan dua malam di hotel berbintang, bahasa kerennya, staycation. Entah ini istilah baru atau memang saya saja yang kudet alias kurang update. Liburan yang diisi dengan menginap dan melakukan berbagai aktivitas yang tersedia di hotel. 

Ajakan ini datang langsung dari Ms. Clara yang tanpa pikir panjang saya terima. Berbekal informasi darinya dan tentu saja mesin pencarian Google, saya mulai menyiapkan berbagai perlengkapan menginap, ibu saya—yang selalu menyertai dalam tiap sesi packing sebelum perjalanan liburan—mewanti - wanti saya untuk penuh perhatian dalam berperilaku, menerapkan table manner yang tepat, hingga prosedural teknis dalam toilet! Agak lucu ya, Ibu saya memang lebih berpengalaman, bapak ibu saya menyelami hal-hal seperti ini semasa aktif bekerja dulu namun belum sekalipun berkesempatan mengajak saya, liburan semacam ini tak pernah masuk budget keluarga kami.

Lima belas Oktober 2019, sekitar pukul 13.00 saya dan Ms. Clara bertemu di Botani Square Mall. Kami makan siang kemudian berbelanja makanan ringan dan buah-buahan sebelum menuju R Hotel Rancamaya. Setelah dirasa cukup, kami bertolak menggunakan taksi online, gerimis manis mengiringi perjalanan kami menuju Rancamaya. Setibanya di lobby hotel, kami disambut senyum hangat para petugas hotel. Hari itu saya mengenakan gamis dan jilbab lebar, lucunya saya turut melangkah menuju meja resepsionis mengikut Ms. Clara, petugas resepsionis menangkap signal bahwa saya merupakan tamu lainnya, dengan sungging senyum ia menyilakan saya, “Ya, Ibu, silakan,” saya mundur teratur dan memberi gerak isyarat bahwa saya bersama orang ini, Ms. Clara (Ups! We clearly look different yaaaa, anggaplah ini ke-norak-an saya nomor satu). 

Memasuki kamar hotel, kami atur penyimpanan barang dan memeriksa kelengkapan fasilitas kamar yang tersedia. Ms. Clara juga ajarkan saya menggunakan kartu akses/cardlock di dalam kamar. Setelah itu, Anda ingin tahu apa yang saya lakukan? Ya jelas, berfoto ria, hahahha. Tujuan saya hanya satu, mengirim foto kepada ibu saya agar ia tahu bahwa saya telah tiba di tempat tujuan dengan selamat. Tak perlulah saya deskripsikan dengan detil kamar hotel kami menginap, Anda dapat langsung meluncur ke laman-laman perdagangan elektronik atau e-commerce untuk mengintip fasilitas kamar kami atau akses langsung melalui website https://www.rhotelrancamaya.com/ . Hujan yang menetap di Rancamaya tak kunjung reda hingga malam menjelang, view Gunung Salak dari kamar kami pun diselimuti kabut. Malam itu kami berkeliling untuk melihat fasilitas hotel yang dapat dinikmati secara gratis. Kami duduk menikmati welcome drink di The Patio Lounge. Ms. Clara berkisah tentang cerita cintanya semasa muda, betapapun usaha dilakukan untuk mempersatukan cinta, mereka memutuskan untuk tak bersama. Ah masa muda!

Perlahan hujan reda meski bulan tak jua tampak, kami kembali ke kamar hotel dan bersih-bersih diri. Saya perlu menjalani serangkaian ‘bathroom training’ dalam arti sesungguhnya, saya membedakan mana handuk badan, handuk kepala—yang saya gunakan sebagai sajadah salat sebelum tahu ternyata ada fasilitas peminjaman sajadah—dan keset, saya juga bertanya tentang fungsi gelas-gelas, sabun, sampo, pasta gigi, dan hairdryer (ajaib memang! Ya, ke-norak-an nomor dua). Malam panjang kami isi dengan bertukar pendapat tentang tontonan pada tv kabel, komentarnya singkat, “Aneh, reality show tak mendidik namun viral di mana-mana”.  Sebelum tidur, ia menyempatkan membaca buku yang dibawanya sementara saya buka laptop berniat mencicil pekerjaan, tak kurang dari 10 menit, bendera putih saya kibarkan.

Keesokan pagi, sinar mentari menyapa saat kami sarapan di @ De Yard Restaurant. Model sarapan yang unik, sebelum memulai, saya tanya bagaimana sistem kerjanya, Ms. Clara santai saja menjawab, “Pilih aja, mau makan apa, boleh bolak-balik ambil, asal nggak malu, ya,” saya nyengir lalu mengelilingi meja demi meja untuk memilah menu apa yang akan dimakan, saya pemakan nasi 3x sehari namun dengan begitu banyaknya menu, saya jadi bingung sendiri. 

Kami lanjutkan aktivitas dengan bermain golf. Apaaa? Golf? Tidak, Anda tidak salah baca, kami bermain golf, tentunya memanfaatkan fasilitas gratis. Kami diantar menggunakan golf car menuju lapangan golf, Ms. Clara hampir mahir berolahraga golf pada suatu masa namun kini lupa menjangkit, ia ajari saya teknik dasar bermain golf, setelah percobaan kesekian kali, barulah bola dapat terpukul cukup tepat meski hanya terpental dalam jarak dekat! Menarik sekali permainan golf ini, target perlu dicapai dengan perhitungan yang sangat matang, bila pemain belum mampu memperhitungkan kuat-lemahnya ayunan stick, jauh-dekatnya jarak target, ketepatan pukulan, dan sejumlah faktor lainnya, jangan harap target tercapai. Tak ubahnya hidup kita ya, “Target-target kehidupan pun harus dirancang dengan matang sekaligus cara untuk mencapainya”. Oh golf, aku padamu!

Puas bermain golf, kami menuju kolam renang. Saya tak mampu renang, dengan senang hati menenteng laptop untuk bekerja di pinggir kolam. Ms. Clara dan beberapa tamu lain asyik berenang. Kemegahan hotel dengan segala fasilitasnya memanjakan tamu-tamu untuk sekadar singgah atau berlibur. Saya manfaatkan 2 menit merenung, dua hal saja yang saya renungkan, syukur atas kesempatan mencecap liburan ala bangsawan dan pertanyaan kepada diri sendiri manfaat apa yang dapat saya lakukan setelah ini?

Tengah hari kami beristirahat seraya merencanakan aktivitas selanjutnya yang akan kami lakukan. Kami bertukar cerita tentang keluarga, saya yang lahir dari keluarga minimalis tapi harmonis—setidaknya itu yang terus kami usahakan—pernah juga mengalami masa-masa sulit, di antaranya sewaktu mengeyam pendidikan, yang paling kuat daya juangnya menarik untuk dibagikan. Ms. Clara bertutur tentang hubungan  adik kakak dalam keluarganya, bukannya tak pernah mengalami masa-masa sulit namun sistem kerja sama yang diterapkan di antara mereka untuk merawat kedua orangtuanya membuka skema baru dalam pandangan saya, maklum saya anak tunggal, sepenuhnya cinta kasih dari orangtua dicurahkan untuk saya seorang, begitupun sebaliknya. Setiap keluarga punya ceritanya tersendiri, mendengar dan meresapi tiap kisah yang dibagikan tentang keluarga, saya yakin, kami, dan juga Anda menjadi kuat, tangguh, berdaya, dan sejuta kata sifat lainnya berkat tempaan dari lingkungan pertama yakni keluarga.

Sore itu kami berniat menjajal bersepeda di sekitar area hotel, namun kami tunda hingga esok hari karena langit telah menampakkan tanda-tanda hujan akan turun. Kami beralih mencoba fasilitas Game Room, terdapat beragam jenis permainan yang tersedia, tentu saja tenis meja menjadi pilihan utama, kami senang dan mampu bermain tenis meja dengan baik meski tak menggunakan aturan baku permainan, kurang lebih 1,5 jam kami habiskan bermain tenis meja. Sebelum kembali ke kamar, kami putuskan untuk langsung makan malam di The Pavilion, belakangan saya tahu resto-resto di hotel berbintang hampir menerapkan konsep fine dining, jadi berpenampilan baik juga perlu tapi terlanjurlah kami yang bau keringat ini merasa lebih lelah lagi kalau harus bolak-balik ke kamar, menu ayam bakar yang saya pesan juga harus dimakan menggunakan garpu berukuran besar, saya tanya letak wastafelnya berniat makan tanpa alat makan, pramusaji menjawab tidak ada, jadilah saya makan dengan garpu sendok—agak berisik, sih (iya, iya, ke-norak-an nomor tiga). Malamnya kami putuskan untuk mencicil pekerjaan sesuai janji, kami tutup malam dengan laptop masing-masing. 

Sarapan pagi ini di tempat yang sama dengan kemarin pagi, saya sudah tentukan menu bahkan sebelum kami tiba di resto. Saya ambil buah, sushi, dan beberapa menu lainnya. Bukan kuantitas makanan yang saya ambil dan makan, tapi kualitas mengambil makanan, kualitas menebar senyum kepada para koki dan pramusaji, kualitas melongok tamu-tamu lain, kualitas percaya diri saya yang telah hadir lebih penting dari apapun. Kami lanjutkan dengan bergegas bersepeda mengelilingi area hotel, tak begitu luas namun cukup untuk menikmati suasana asri sekitar. Selanjutnya kami manfaatkan waktu untuk berfoto ria sebelum kembali ke Jakarta siang ini, kami terlalu menikmati tiap menit beraktivitas di sini hingga lupa berfoto. Saya bukan orang yang menyibukkan diri dengan berfoto ketika berlibur bahkan dalam berbagai aktivitas sehari-hari. Saya punya tujuan yang lebih penting, tiap momen yang saya hadapi, haruslah saya nikmati, perlu diresapi, wajib dimaknai, seperti tulisan ini, merupakan bagian dari peresapan dan pemaknaan yang saya alami.


Kami mengambil foto di berbagai tempat yang ikonik. Berbagai gaya diabadikan dengan harapan seorang teman, Richard Basukur iri. Ia tahu kami akan pergi berlibur tanpanya, ia yang dalam kesehariannya selalu punya cara mencela kami, maka kami berniat membalas celaannya dengan mengirimkan foto-foto liburan.
Taman di depan kamar
Golf Driving Range
    
 Golf Driving Range 

Ini beneran kerja, lho
 
Atlet tenis meja
View terfavorit

Sekitar pukul 11.30 kami meninggalkan R Hotel Rancamaya, tumbuhan hijau peralahan berganti dengan deretan ruko dan hiruk pikuk kota. Kemudian kami berpisah di Stasiun Bogor, saya perlu mampir sebentar membeli oleh-oleh untuk ibu di rumah sementara Ms. Clara memburu waktu. Perjalanan singkat yang bermakna mendalam, semoga Anda, para pembaca, dapat memeroleh makna dari cerita saya ini. Sampai jumpa Rancamaya, sampai jumpa Ms. Clara!     

Daftar Bacaan
Manson, Mark. 2018. Sebuah Seni untuk Bersikap Bodo Amat. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia. 
      

Comments

  1. Mantap liburan singkat an menyenangkan memaknai setiap kehidupan dalam setiap kejadian, keren tazka tulisannya jadi mau liburan lagi hahaha

    ReplyDelete
  2. Halo Cahaya Ela. Terima kasih telah membaca, ya. Ayokkk, kapan kita ke mana?
    Semoga bermanfaat ya.

    ReplyDelete

Post a Comment