Pertengahan
tahun 2015 saya memulai pendakian. Ini merupakan awal dari perjalanan
selanjutnya. Berbekal pengalaman teman, saya mulai mempersiapkan segalanya dan yang
paling penting adalah persiapan fisik. Diawali dengan berolahraga, makan
makanan sehat, beristirahat cukup, dan membiasakan tubuh pada situasi di
gunung.
Kali
pertama saya utarakan maksud mendaki pun membuat ibu saya kaget bukan kepalang.
Apa halnya hingga saya berkeinginan untuk lari ke gunung. Saya katakan ingin
mencobanya dan tak bermaksud lain. Saya dihujani berbagai pertanyaan sebelum
akhirnya ibu izinkan.
Kami
berenam menyiapkan kebutuhan selama pendakian. Kebutuhan mendaki sungguh
lengkap dan detil misalnya kebutuhan berkemah, kebutuhan makan, kebutuhan
pertolongan pertama pada kecelakaan, dan lain-lain. Setelah siap, kami bertolak
meninggalkan Jakarta menuju Gunung Gede Jawa Barat Jumat malam.
Tibalah
kami di titik awal pendakian. Terhampar luas perkebunan sayur pada jalur
pendakian yang di ujungnya menjulang tinggi puncak Gunung Gede. Kami berdoa dan
membagi tugas kepada team leader dan sweeper. Team leader dialah pemimpin tim
yang bertanggung jawab terhadap anggotanya sebagai penunjuk jalan dan menguasai
medan pendakian, sementara sweeper
dialah penyapu yang memastikan semua anggota dalam keadaan baik sekaligus tidak
ada yang tertinggal.
Pendakian
dimulai pada pagi hari bersama puluhan pendaki lainnya. Setiap kali melewati
para pendaki yang beristirahat, kami bertegur sapa, sekadar lempar senyum atau
saling menyemangati. Berjam-jam kemudian tibalah kami pada ketinggian dua
ribuan meter di atas laut, oksigen semakin menipis, kabut tebal menyelimuti,
dan udara semakin dingin.
Kami
mendirikan tenda di tengah hujan dan angin kencang, memasak untuk makan di
dalam tenda, dan segera beristirahat meski hujan tak kunjung reda.
Summit attack
dilakukan keesokan harinya sekaligus turun gunung. Minggu pagi kami berkemas
lagi membawa semua perlengkapan karena memilih lintas jalur. Puncak gunung tertutup
kabut tebal, jarak pandang kami terbatas, hujan kembali turun dan tak henti
hingga malam harinya. Pada puncaknya, seorang kawan bertanya tentang kesan
pertama pendakian saya sejauh ini, saya janjikan untuk menjawabnya nanti
setelah proses ini berakhir.
Perjalanan
turun gunung ditemani gelap, saya temui seorang pendaki terserang hipotermia
yang merupakan salah satu penyakit gunung mematikan jika tak segera ditangani,
beberapa pendaki saling membantu hingga ia pulih kembali. Seorang teman kami kelelahan
hebat hingga mengharuskannya dipapah sepanjang perjalanan turun. Situasi
tersebut di atas telah saya baca pada beberapa review pendaki lain
hingga kini saya alami sendiri.
Dalam
pendakian ini saya belajar. Belajar mempersiapkan bekal secara cermat, memahami
kemampuan diri sekaligus mengenal kepribadian teman-teman pendakian. Mendalami
makna bertegur sapa yang remeh, saling menyemangati, tolong menolong, bukankah
mudah untuk tersenyum kepada siapa saja? bahkan dengan dia yang baru saja kita jumpai?
Mendaki
gunung bukan tentang siapa yang lebih cepat atau lambat, bukan perihal si kuat
atau si lemah, melainkan dia yang mau dan rela berproses bersama hingga akhir.
Mendaki gunung bukan tentang puncak sebagai tujuan, melainkan dia yang memiliki
tujuan pulang ke rumah dengan selamat bersama-sama.
Jawaban
saya ditagih untuk kesekian kalinya. Sementara tanah basah mengantar akhir
pendakian kami, setelah membersihkan diri, saya dekati dia dan berkata, “Mendaki
gunung menyisakan candu, saya pastikan untuk mendaki lagi.” Selanjutnya ia
katakan bahwa kesan pertama pendakian bergantung pada teman seperjalanan, pun
menentukan kau akan mencintai atau malah membenci pendakian itu sendiri. Dalam
letih kami bersenda gurau membagi pengalaman lain tentang hari ini.
Senin pagi pukul 02.30 dini hari polusi Jakarta menyambut. Hiruk pikuk dan rutinitas yang akan dimulai dalam hitungan jam telah membayangi. Kami segera beristirahat menyimpan sisa energi untuk aktivitas selanjutnya, menyimpan mimpi untuk perjalanan selanjutnya.
Comments
Post a Comment