Skip to main content

BADEGA PART 3: FAM(ILY) TRIP?


Wonderful!!!

Ya, itulah kata yang dapat saya lukiskan pada perjalanan kali ini. Masih ingat kisah Badega Part 1 dan Part 2? Perjalanan ini rasanya melengkapi edisi Badega. Ketiga kalinya saya mengunjungi Gunung Parang via Ferrata. Seorang teman tercengang menikmati foto-foto kunjungan saya ke Badega sebelumnya, ya, betapa mengagumkan slide-slide foto itu yang mampu menggerakkan seseorang untuk pergi dan menyelami langsung pengalaman yang dirasakan. Tak jarang beberapa orang mendatangi suatu tempat hanya untuk foto. Pernah beberapa kesempatan saya sendiri pergi untuk tujuan mendapatkan foto-foto cantik, menarik, eksotik namun yang didapat zonk…. Sungguh pun dalam banyak hal saya berencana untuk sebuah foto, herannya tak juga terwujud, yang blur, yang asimetri, yang senyum kurang lebar, dan sejuta alasan lainnya. Mungkin ini tanda supaya tak lagi merencakan sesuatu hanya untuk foto, seperti kalimat sakti yang akan selalu saya patri dalam diri, “Don’t expect anything, then you will get everything”.

Saya menyetujui ajakan untuk mengunjungi Badega (lagi) bertujuan melengkapi pendakian sebelumnya. Ms. Anna, seorang teman yang tercengang atas foto-foto saya, mengajak serta suaminya Bang Anggun untuk menjajal pendakian gunung batu via Ferrata. Kunjungan pertama saya melintasi jalur sepanjang 150m, pada kunjungan kedua 300m, dan kali ini saya langsung menyatakan kesediaan dengan syarat melintas jalur 900m, anehnya pasangan suami istri ini sepakat dengan senang hati. Saya ajak seorang teman sekolah dulu, agar tak jadi nyamuk di antara pasutri ini. Riri, di sela-sela kesibukannya yang tak sibuk, tertantang mencoba pendakian yang sama sekali belum pernah ia alami selama hidup.

Saya pun menghubungi kontak person yang tertera pada IG @gunungparang_badega untuk melakukan reservasi. Jika perjalanan sebelumnya ditempuh melalui jalur darat, kali ini pun jalur darat hanya saja menggunakan kendaraan pribadi milik Ms. Anna. Kami berangkat pada tanggal 4 April 2018, jam 03.00 dini hari Ms. Anna menjemput saya dan Riri di kos. Sebelumnya kami berencana bermalam di Badega sehari sebelumnya namun satu dan lain hal, kami putuskan untuk melaju dari Jakarta ke Purwakarta. Kurang lebih 4 jam kami tempuh menuju Badega, tentu saja  google map yang jadi pemandu, kondisi jalan yang cukup mulus membuat kami tahan napas beberapa kali karena terdapat patahan atau kubangan, kami yakin perbaikan terus dilakukan. Mendekati Badega, kegagahan Gunung Parang menyambut kedatangan kami.

Tiba di Badega kami melepas lelah sejenak, sarapan, berkemas dan mempersiapkan diri, beberapa orang mengenali saya dari kunjungan sebelumnya. Kami memasang perlengkapan lalu di-brief berkenaan dengan hal-hal teknis pada kegiatan ini. Trekking selama 30 menit menuju bibir pendakian tangga besi dihidupi dengan berfoto ria, bak ritual wajib dalam tiap adegan. Urutan meniti tangga besi berganti-ganti antara Ms. Anna, Bang Anggun, Riri, saya, Kang Guide, dan Kang Guide, Bang Anggun, Ms. Anna, Riri, saya. Kang Guide, seperti pada kisah saya sebelumnya, akan selalu mengarahkan sekaligus mengambil foto dari urutan keberadaannya, di depan atau belakang. Cuaca cerah mengiringi pemanjatan ini, matahari bersinar cerah namun angin semilir tetap bertiup menambah kesejukan. Jalur kelok yang tetap jadi spot favorit untuk berfoto, Kang Guide dengan sigap menjepret kami satu per satu.
Bersiap sebelum pemanjatan

Jalur vertikal 

Jalur horizontal 
Kelokan ter-epic

Jalur pemanjatan melewati jalur yang sama seperti pada jalur 150m dan 300m, perbedaannya terletak pada titik henti turun pada jalur 300m, kami melanjutkan menaiki tangga besi menambah ketinggian. Sesekali mencoba menyapa beberapa orang yang tengah bekerja dalam ketinggian yang sama, mungkin sedang membuka jalur baru, tentunya bukan penyedia jasa Badega, ada juga beberapa orang yang terlihat bekerja untuk Skylodge Hotel yakni Hotel Gantung yang menyediakan jasa menginap dengan kamar menggantung pada dinding gunung batu. Oh, dalam pemanjatan ini sandal yang dikenakan Ms. Anna putus, saya bawa dan tawarkan sandal cadangan, namun ukuran kaki saya yang terlampau besar ditolaknya mentah-mentah, Ms. Anna mengaku tak kesulitan dengan sandal putus, ia terus melaju, Bang Anggun ketar-ketir, mereka berdua cari solusi. Pada titik henti 300m kelelahan makin mendera, saya estimasikan proses ini akan berakhir tepat tengah hari seperti kala itu namun pemanjatan belum juga usai. Ms. Anna dan Bang Anggun yang jauh di depan meninggalkan saya dan Riri, jalur vertikal membuat kami terus dapat saling melihat, sesekali pasurti ini berhenti cukup lama, saya yakin mereka pun kelelahan ditambah balada sandal putus yang terus membebani, tapi coba lihat bagaimana pasutri ini menghadapi masalah sandal putus, mereka bersama-sama selalu, urutan pemanjatan berganti-ganti di antara mereka berdua, Bang Anggun, Ms. Anna dan Ms. Anna, Bang Anggun, begitu selalu, saling dukung dan membantu, begitulah selalu hingga maut memisahkan nanti yaaa…  Jarak kami yang cukup jauh hanya menyisakan saya dan Riri, kami ngobrol ngalor ngidul supaya Riri tetap semangat, kegiatan alam bebas pertama kali haruslah menyenangkan, setidaknya itu yang saya dapat kali pertama memulai ini, saya ingin hal yang sama dirasakan juga olehnya, meskipun hal-hal yang mungkin saja kurang berkenan terjadi kepadanya tanpa saya ketahui. Kadang, menjaga semangat diri lebih mudah daripada menjaga semangat orang lain.

Jalur vertikal setelah 300m 
 
Pasutri memimpin jauh di depan 
Sekitar pukul 13.30 kami tiba di ketinggian 900m. Kami duduk di bawah pohon berlindung dari teriknya matahari dan mengisi perut yang mulai kelaparan dengan makanan yang ada. Pada puncaknya masih terdapat pepohonan dan bebatuan besar, sebagian kecil bebatuan yang datar dijadikan spot foto yang menakjubkan. Untuk berfoto, kami harus tetap memperhatikan keselamatan, carabiner harus selalu terhubung pada paku beton yang tertancap pada permukaan gunung. Berbagai gaya foto berhasil diabadikan dengan epic. Bila jalur tangga besi dihadapkan langsung oleh view Waduk Jatiluhur, pada puncaknya kami menikmati jajaran pegunungan, tak tahu pasti pegunungan apa, lihat sendiri keindahannya.   

View dari puncak 900m 
 
Diskusi mau foto gaya apa
 
Gaya menolak Lady Diana dan Pangeran Charles 
Setelah asyik berfoto, saya luangkan waktu 2 menit untuk berdiam merenung. Dua hal saja yang saya renungkan, pertama, syukur atas kesempatan yang diberikan, kedua, pertanyaan untuk diri sendiri, manfaat apa yang dapat saya lakukan untuk orang lain setelah ini?

Perjalanan turun lebih menantang, bila pemanjatan harus mendongakkan kepala, perjalanan turun harus terus menunduk, melihat ke bawah agar pijakan kaki tepat pada tangga. Bak perjalanan hidup sebagian besar umat manusia ya, manusia cenderung ‘dongak’ ketika kehidupannya ‘merangkak’ ke atas, hal postifnya agar terus maju dan pantang mundur. Ketika kehidupannya ‘merosot’ turun, mereka cenderung ‘menunduk’, lagi-lagi hal positifnya agar lebih memperhatikan langkah tepat dalam melihat penurunan yang dirasakannya. Ah, terlalu filosifis! 

Urutan menuruni anak tangga diawali oleh saya, Riri, Kang Guide, Ms. Anna, Bang Anggun, kadang bergantian. Sepanjang jalan, ujaran kami serempak, “Es teh manis, satu,” tak lain untuk terus menyemangati langkah. Matahari yang kian terik perlahan mundur teratur berganti mendung. Cuaca mendung menampakkan tanda-tanda akan turun hujan. Separuh jalan, hujan deras mengguyur, petir saling sahut dan angin kencang menggugurkan daun dari pepohonan. Baju basah kuyup, langkah kaki lebih berat, penglihatan harus bekerja ekstra demi melihat anak tangga di bawah, memastikan carabiner terpasang tepat, perlindungan utama pada alat-alat elektronik yang kami bawa. Tak disangka, saya merasa tersengat listrik dalam beberapa detik. Saya berteriak kepada rekan seperjuangan, Kang Guide sarankan agar mempercepat menuruni tangga. Belakangan saya berspekulasi, mungkin saya tersambar petir ringan ya (apa ini istilahnya…?), kami berada di alam terbuka, hujan air—yang dapat mengaliri listrik, aksesori logam—yang menempel pada sekeliling kami seperti besi itu sendiri, carabiner, dan lain-lain tapi alhamdulillah tidak ada hal serius yang terjadi kepada saya. Masih ingat cerita saya Badega Part 2? Beberapa pemanjat dihajar hujan deras, saya berceloteh dalam hati, “Wiiiih, seru juga kali ya, kalau huhujanan,” celoteh saja dapat tepat terwujud, saya benar-benar merasakan pengalaman ‘huhujanan’ dalam panjat gunung batu kali ini.

Hujan deras, petir, angin kencang menemani perjalanan turun
Hujan mereda namun terus menemani perjalanan kami hingga kembali ke kantin teteh tempat kami di-brief sekitar jam 16.00. Es teh manis berganti jadi teh hangat segera dihidangkan. Kami cepat-cepat mandi dan membersihkan diri, makan makanan yang terhidang dengan lahap sembari berbincang santai menertawakan kelelahan. Kami pikir akan bermalam di Badega dengan pertimbangan kelelahan yang tercipta namun Ms. Anna dan suami menyanggupi untuk langsung kembali ke Jakarta. Setelah selesai makan, istirahat, dan berbekal jalur lain menuju Purwakarta, kami berangkat sekitar jam 18.30 untuk pulang.

Sebelum kembali ke Jakarta
Begitulah pengalaman yang tak pernah diharapkan, nyatanya sangat lengkap dan berkesan. Petiklah pelajaran paling berharga bagi Anda para pembaca, bagi saya semua hal yang terjadi dalam perjalanan ini sungguh berharga. Sayonara Badega, entah kapan lagi saya kembali ke sana.  😊😊😁

Comments

  1. Wow..luar biasa Tazka! Perjalanan & pemandangan yang mengagumkan..

    ReplyDelete
  2. Halo, yang di sana. Terima kasih telah membaca. Ya, benar sekali. Pemandangan sungguh mengagumkan. Semoga bermanfaat, ya!

    ReplyDelete
  3. Mantappp... Salut utk kalian semua, para petualang muda yg enerjik... Bravo!

    ReplyDelete
  4. Halo, Mrs. Christine. Terima kasih telah membaca. Ayo kita bertualang bersama, 😁. Semoga bermanfaat, ya!

    ReplyDelete

Post a Comment