Skip to main content

SUKU BADUY DALAM: ANDA TAAT, KAMI HORMAT


Saya sedang giat-giatnya menuruti langkah kaki, ke mana lagi tempat yang harus dijejaki.  Belum kering baju di jemuran setelah pendakian ke Gunung Merbabu bulan lalu, beberapa teman memberi ide untuk menyapa Suku Baduy. Seorang teman sekolah pernah bercerita tentang suku Baduy, ia deskripsikan cara hidup Suku Baduy Dalam dengan rinci, daya khayal saya tergelitik, beberapa lembar foto pada buku sekolah pun tak cukup memenuhi gelas pengetahuan saya, benarkah ada orang-orang seperti itu? tapi saya juga tak lantas penasaran untuk mendatangi. Sekitar enam atau tujuh tahun berselang, kesempatan untuk mengunjungi Suku Baduy menghampiri, saya tak mau melewatkannya dengan percuma.



Saya bersama lima teman kuliah memutuskan untuk mendaftarkan diri pada jasa Open Trip yang berseliweran di media sosial. Kesempatan ini merupakan kali pertama saya bergabung dengan jasa Open Trip, alasannya sepele, kami semua perempuan dan belum ada yang berpengalaman mengunjungi Suku Baduy Dalam. Sistem kerja Open Trip kurang lebih begini, semua peserta diundang ke dalam grup What’sApp, mulailah berkenalan satu sama lain dan mengakrabkan diri. Penting untuk mengenal teman-teman seperjalanan meski kami sudah memiliki grup sendiri, tapi dalam perjalanan, merekalah yang akan kalian punya, hanya mereka yang akan siap sedia membantu jika terjadi sesuatu. Saya sendiri suka mengenal teman-teman seperjalanan meski saya tidak cepat akrab dengan orang baru.



Pagi hari kami bertemu di Stasiun Tanah Abang sebagai tempat Meeting Point. Seorang tour guide memperkenalkan diri dan membagikan tiket kereta. Kami menumpang kereta Rangkas Jaya, kereta ekonomi ekspres yang hanya berhenti di beberapa stasiun untuk menuju stasiun Rangkasbitung, alangkah lucunya karena ternyata kereta ini pun berhenti di Stasiun Parungpanjang, stasiun kebanggaan warga Parungpanjang, ya, saya tinggal di Parungpanjang. Kalau tahu dari awal, untuk apa saya ke Stasiun Tanah Abang tadi? Ah, sudahlah, namanya juga jalan-jalan.

Setibanya di Stasiun Rangkasbitung, kami lanjut menumpang mobil angkutan elf. Eh, sebelum lupa, mari saya perkenalkan teman-teman perjalanan kali ini, ada Zizi dan Fitri teman sekelas, ada Uswah, teman beda jurusan, Tami, temannya Uswah, dan Yulita, temannya Tami, dengan Tami dan Yulita, kami baru berjumpa hari ini. Ya, grup kami sendiri saja terdiri atas temannya teman, teman dari temannya teman, Anda bingung? saya juga, hihihi.... 

Sekitar dua jam lamanya ditempuh untuk tiba di Desa Ciboleger. Kami rehat untuk isoma dan mempersiapkan diri. Beberapa remaja dari Suku Baduy Dalam sudah menyambut kami di desa ini, secara fisik tidak ada yang berbeda, hanya penampilan saja yang berbeda. Mereka berbalut pakaian yang hanya terdiri atas dua warna, hitam dan putih dan tidak beralas kaki. Mereka akan mengawal kami kalau-kalau ada yang tidak kuat dan perlu dibantu. Desa ini merupakan starting point pendakian menuju pemukiman Suku Baduy. Pendakian? seperti mendaki gunung? Kurang lebih kontur jalur memang mirip mendaki gunung. Diawali dengan berfoto ria dan berdoa, kami memulai pendakian.
berfoto dengan grup sendiri 


Awal pendakian kami melewati rumah-rumah pedesaan yang menjual souvenir. Kami belum tertarik untuk berbelanja, kami masih bersemangat untuk berjalan. Berbagai kontur jalur siap dijejaki, bebatuan, tanah merah, menyeberangi sungai aliran ringan, sedang, dan deras, kemiringan jalur pun bervariasi, naik turun bukit, hujan intensitas sedang sempat menemani langkah kami. Perjalanan penuh diramaikan dengan bercanda gurau dan berfoto ria, ya, supaya semangat terus dan tidak terlalu memikirkan capek. Kami juga manfaatkan kesempatan untuk bertanya-tanya tentang Suku Baduy kepada seorang remaja yang sedari tadi mengawal grup kami. 

Jalur di perkampungan

Jalur tanah merah 
Sudah hampir lima jam kami berjalan, akhirnya tiba di Kampung Cibeo (?), salah satu dari tiga kampung tempat Suku Baduy bermukim. Kembali diingatkan kepada seluruh peserta untuk menaati aturan adat yang ada, di antaranya tidak menggunakan alat elektronik, bahan-bahan yang mengandung bahan kimia, dan menjaga etika bertamu. Patuh pada aturan, kami pun tidak mengaktifkan alat-alat elektronik, itulah kenapa tidak ada satu gambar pun yang diabadikan dari perkampungan Suku Baduy Dalam. Sebelum hari makin gelap, kami sempatkan untuk bersih-bersih diri, kami harus menuju sungai sekitar 10 menit jaraknya  untuk melakukan MCK, di sinilah warga Suku Baduy Dalam juga melakukan aktivitas MCK-nya. Area laki-laki dan perempuan tentu saja dipisah, cukup berlindung di balik batu-batu besar untuk menunaikan segala jenis hajat, tidak ada bilik, semua terbuka. Beberapa orang membawa sarung sebagai penutup, beberapa lainnya menceburkan diri dan main-main air dengan pakaian masih melekat. Saya bingung sendiri, sarung tidak ada, main-main air ganti di mana, akhirnya saya dan beberapa teman hanya puas dengan membasahi anggota wudu untuk salat.


Malamnya kami makan makanan yang dimasak oleh sang empunya rumah. Oh, seluruh peserta perempuan tinggal dalam sebuah rumah, pencahayaan seadanya menambah kesyahduan malam itu, beberapa teman mengobrol dengan yang lain, saya dan beberapa teman sibuk mengatur jadwal ke sungai, entah untuk wudu lagi atau sekadar pipis. Saya tak ingat jam berapa benar-benar terlelap karena hampir tak bisa membedakan antara malam dan tengah malam, semuanya gelap.


Keesokan pagi, kami bangun subuh untuk menunaikan berbagai hajat ke sungai, sebelum ramai dan dalam gelapnya subuh, saya harus ‘mandi’ tentu tanpa sabun dan kawan-kawannya, persis hanya membasahi tubuh sesegera mungkin lalu mengganti pakaian, kami saling bergantian menjaga hingga semua selesai ‘mandi’. Kalau mau dihitung menit, tidak sampai 5 menitlah. Yakin tidak ada yang ngintip? Saya sih yakin, nggak tahu yang lain.


Selepas sarapan, beberapa warga menggelar kerajinan tangan untuk dijual kepada para wisatawan, ada gelang, kalung, madu, tas, dan lain-lain. Kemudian kami bersiap kembali menurun dan naik bukit namun jalur yang ditempuh berbeda dari kemarin. Kontur jalur tetap sama, hanya saja lebih didominasi oleh hutan. Beberapa pertanyaan yang sempat kami tanyakan di antaranya, kenapa tidak boleh beralas kaki? kenapa tidak ada listrik dan kemajuan ilmu pengetahuan? kenapa tidak memelihara hewan berkaki empat? kenapa warna pakaian hanya hitam dan putih? Jawaban dari semua pertanyaan itu karena larangan-larangan tersebut menjaga mereka agar tetap selaras dengan alam, mereka juga menjaga ajaran nenek moyang, lebih lengkapnya dapat Anda googling sendiri atau dilihat pada tautan ini https://www.indonesiakaya.com/jelajah-indonesia/detail/suku-baduy-bersinergi-dengan-alam-menjaga-aturan-adat. Adapun pertanyaan iseng lainnya, “Suku Baduy Dalam pergi liburan nggak?” “Ya jelas, kalau lagi pergi ke kota, selain menjual hasil kerajinan, sekalian saja liburan.” “Suku Baduy Dalam boleh menikah dengan orang dari luar suku?” “Kalau itu, harus pilih, orang luar itu yang ikut menjadi bagian dari Suku Baduy Dalam atau kami yang keluar dari Suku Baduy Dalam,” jawaban yang disusul pertanyaan balik dari beberapa teman, ya, ya, tepat, Anda dapat menebak, bukan?


Matahari kian tinggi, hari semakin panas. Kami jauh tertinggal dari rombongan namun seperti kemarin, ada seorang remaja yang terus membersamai grup kami, namanya Kang Arjun, ia juga bertutur dalam waktu dekat akan dinikahkan dengan seorang wanita Suku Bady Dalam, kami yakin ia jauh lebih muda, panggilan Kang di tanah Sunda merupakan panggilan kehormatan bagi saya juga tak merujuk pada usia, daripada panggilan Aa (?). Hihihi…. Lepas dari perkampungan Baduy Dalam, kami diperbolehkan menggunakan alat elektronik. Saya selipkan dua menit renungan di sela-sela perjalanan, begini, “Mampukanlah aku senantiasa mengingat-Mu dalam setiap napas yang behembus.” Ah, ada spot menarik untuk singgah, jembatan akar, salah satu ikon utama, konon masyarakat memperkirakan jembatan tersebut terbentuk dengan sendirinya dalam proses 50-70 tahun. Seperti saya sebutkan sebelumnya, jalur pendakian ini sangat lengkap, bahkan kami harus menyeberangi sungai yang ada ataupun tak ada jembatannya. Kami berfoto ria dalam lelah setengah jalan. Beberapa foto candid berhasil diabadikan.  
difoto candid dari Jembatan akar


Jembatan akar
Total enam jam perjalanan untuk kembali ke tempat meeting point mobil angkutan Elf, kami bersiap untuk berpisah dengan remaja-remaja Suku Baduy Dalam. Tak banyak yang dapat kami ucapkan selain berterima kasih atas segala kebaikan yang dibagikan. Kami senang sekali dapat berinteraksi langsung dengan masyarakat Suku Baduy Dalam dan menyelami kehidupan Suku Baduy Dalam meski hanya satu malam. Betapapun indahnya kata-kata saya untuk menggambarkan pengalaman ini, sayangnya pengalaman hanya dapat dicecap sendiri dan tak dapat diabadikan oleh gambar.
Mengantar hingga kami hilang dari pandangan

bersiap kembali pulang
Suku Baduy Dalam yang memegang teguh ajaran, mengajarkan saya untuk taat dalam aturan. Saya perlu berkaca lagi, sudahkah saya menjalani aturan dalam ajaran yang saya yakini?  Kami, yang dilabeli wisatawan, juga teguh menghormati ajaran Suku Baduy Dalam, kami taat selama aturan itu tidak melanggar ajaran yang kami yakini. Kami patuh dan bertanya demi memenuhi gelas pengetahuan bukan mempertanyakan. Semoga saya, Anda, dan jutaan umat manusia lainnya dapat memetik pelajaran dari cerita perjalanan ini, sampai jumpa, Baduy!  🙏       

Comments