Skip to main content

Gadis Pantai dalam makalah apresiasi sastra



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Novel
Menurut kamus besar bahasa Indonesia, novel adalah karangan prosa yang panjang mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang di sekelilingnya dengan menonjolkan watak dan sifat setiap pelaku.[1]

B.     Unsur Pembangun Novel
Novel  sebagai salah satu karya sastra yang terbangun oleh beberapa unsur, unsur-unsur pembangun tersebut saling berkaitan. Secara garis besar unsur-unsur Tersebut dapat dikelompokan menjadi dua bagian. Pembagian yang dimaksud adalah unsur intrinsik unsur ekstrinsik (Nurgianto.2000:23). Unsur intrinsik menurut (Nurgiantoro,2000:23) adalah unsur-unsur yang membangun karya satra itu sendiri, unsur tersebut meliputi: Alur (Plot), tokoh dan penokohan, dan gaya bahasa. Unsur ekstrinsik adalah unsur yang berada diluar karya sastra,unsur-unsur ini mendukung adanya pencitraan yang tergambar di dalam novel,misalnya budaya,sosial,agama,dan politik.[2]

C.    Biografi Pramoedya Ananta Toer
Pramoedya Ananta Toer (lahir di , Jawa Tengah, 6 Februari 1925 – meninggal di Jakarta, 30 April 2006 pada umur 81 tahun), secara luas dianggap Blora sebagai salah satu pengarang yang produktif dalam sejarah sastra Indonesia. Pramoedya telah menghasilkan lebih dari 50 karya dan diterjemahkan ke dalam lebih dari 41 bahasa asing. Ayahnya adalah seorang guru, sedangkan ibunya berdagang nasi. Nama asli Pramoedya adalah Pramoedya Ananta Mastoer, sebagaimana yang tertulis dalam koleksi cerita pendek semi-otobiografinya yang berjudul Cerita Dari Blora. Karena nama keluarga Mastoer (nama ayahnya) dirasakan terlalu aristokratik, ia menghilangkan awalan Jawa "Mas" dari nama tersebut dan menggunakan "Toer" sebagai nama keluarganya. Pramoedya menempuh pendidikan pada Sekolah Kejuruan Radio di Surabaya, dan kemudian bekerja sebagai juru ketik untuk surat kabar Jepang di Jakarta selama pendudukan Jepang di Indonesia. Pada masa kemerdekaan Indonesia, ia mengikuti kelompok militer di Jawa dan kerap ditempatkan di Jakarta pada akhir perang kemerdekaan. Ia menulis cerpen serta buku di sepanjang karier militernya dan ketika dipenjara Belanda di Jakarta pada 1948 dan 1949. Pada 1950-an ia tinggal di Belanda sebagai bagian dari program pertukaran budaya, dan ketika kembali ke Indonesia ia menjadi anggota Lekra, salah satu organisasi sayap kiri di Indonesia. Gaya penulisannya berubah selama masa itu, sebagaimana yang ditunjukkan dalam karyanya Korupsi, fiksi kritik pada pamong praja yang jatuh di atas perangkap korupsi. Hal ini menciptakan friksi antara dia dan pemerintahan Soekarno. Pada 1960-an ia ditahan pemerintahan Soeharto karena pandangan pro-Komunis Tiongkoknya. Bukunya dilarang dari peredaran, dan ia ditahan tanpa pengadilan di Nusakambangan di lepas pantai Jawa, dan akhirnya di pulau Buru di kawasan timur Indonesia. Selain pernah ditahan selama 3 tahun pada masa kolonial dan 1 tahun pada masa Orde Lama, selama masa Orde Baru Pramoedya merasakan 14 tahun ditahan sebagai tahanan politik tanpa proses pengadilan. Pramoedya dibebaskan dari tahanan pada 21 Desember 1979 dan mendapatkan surat pembebasan secara hukum tidak bersalah dan tidak terlibat G30S/PKI, tapi masih dikenakan tahanan rumah di Jakarta hingga 1992, serta tahanan kota dan tahanan negara hingga 1999, dan juga wajib lapor satu kali seminggu ke Kodim Jakarta Timur selama kurang lebih 2 tahun.
Selama masa itu ia menulis Gadis Pantai, novel semi-fiksi lainnya berdasarkan pengalaman neneknya sendiri. Ia juga menulis Nyanyi Sunyi Seorang Bisu (1995), otobiografi berdasarkan tulisan yang ditulisnya untuk putrinya namun tak diizinkan untuk dikirimkan, dan Arus Balik (1995). Edisi lengkap Nyanyi Sunyi Seorang Bisu diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Willem Samuels, diterbitkan di Indonesia oleh Hasta Mitra bekerja sama dengan Yayasan Lontar pada 1999 dengan judul The Mute's Soliloquy: A Memoir. Semenjak Orde Baru berkuasa, Pramoedya tidak pernah mendapat kebebasan menyuarakan suaranya sendiri, dan telah beberapa kali dirinya diserang dan dikeroyok secara terbuka di koran.
Tetapi dalam pemaparan pelukis Joko Pekik, yang juga pernah menjadi tahanan di Pulau Buru, ia menyebut Pramoedya sebagai 'juru-tulis'. Pekerjaan juru-tulis yang dimaksud oleh Joko Pekik adalah Pramoedya mendapat 'pekerjaan' dari petugas Pulau Buru sebagai tukang ketiknya mereka. Bahkan menurut Joko Pekik, nasib Pramoedya lebih baik dari umumnya tahanan yang ada. Statusnya sebagai tokoh seniman yang oleh media disebar-luaskan secara internasional, menjadikan dia hidup dengan fasilitas yang lumayan - apalagi kalau ada tamu dari 'luar' yang datang pasti Pramoedya akan menjadi 'bintangnya'. Banyak dari tulisannya menyentuh tema interaksi antarbudaya; antara Belanda, kerajaan Jawa, orang Jawa secara umum, dan Tionghoa. Banyak dari tulisannya juga semi-otobiografi, di mana ia menggambar pengalamannya sendiri. Ia terus aktif sebagai penulis dan kolumnis. Ia memperoleh Ramon Magsaysay Award untuk Jurnalisme, Sastra, dan Seni Komunikasi Kreatif 1995. Ia juga telah dipertimbangkan untuk Hadiah Nobel Sastra. Ia juga memenangkan Hadiah Budaya Asia Fukuoka XI 2000 dan pada 2004 Norwegian Authors' Union Award untuk sumbangannya pada sastra dunia. Ia menyelesaikan perjalanan ke Amerika Utara pada 1999 dan memperoleh penghargaan dari Universitas Michigan.
Sampai akhir hayatnya ia aktif menulis, walaupun kesehatannya telah menurun akibat usianya yang lanjut dan kegemarannya merokok. Pada 12 Januari 2006, ia dikabarkan telah dua minggu terbaring sakit di rumahnya di Bojong Gede, Bogor, dan dirawat di rumah sakit. Menurut laporan, Pramoedya menderita diabetes, sesak napas dan jantungnya melemah. Pada 30 April 2006 pukul 08.55 Pramoedya wafat dalam usia 81 tahun.[3]
D.    Sinopsis Novel
Berasal dari sebuah perkampungan nelayan di Pantura, Gadis Pantai baru berusia empatbelas tahun dan belum menstruasi ketika seorang priyayi Jawa, pembesar santri setempat, mengambilnya sebagai istri percobaan. Ya, istri percobaan sebelum ia mengambil istri “sebenarnya” yang datang dari kalangan yang sederajat. Dan Gadis Pantai bukanlah yang pertama yang mengalaminya. Di rumah si Bendoro (priyayi itu), Gadis Pantai diajari sholat dan banyak hal lainnya yang terkait dengan gaya hidup para priyayi.
Tentu saja ada yang tak suka dengan keberadaan Gadis Pantai di rumah Bendoro, terutama dari keluarga besar si Bendoro. Mereka mengharapkan Bendoro secepatnya mengambil istri yang sederajat. Seorang Bendoro Demak yang menginginkan putrinya kawin dengan si Bendoro akhirnya mengutus Mardinah untuk menghabisi Gadis Pantai, dengan imbalan Mardinah akan diangkat menjadi istri kelima. Rencana dilaksanakan ketika Gadis Pantai pulang ke rumahnya di pinggir pantai, namun gagal. 
Gadis Pantai kemudian hamil. Dan kemudian ia melahirkan seorang bayi perempuan. Tapi 3 bulan kemudian, Gadis Pantai “diceraikan”, dipulangkan dengan paksa dan anaknya harus ditinggal di rumah Bendoro. Dengan hati hancur Gadis Pantai meninggalkan anaknya di rumah si Bendoro. Malu dengan keadaannya yang tak bersuami, tak punya rumah, dan anaknya dirampas Bapaknya sendiri, Gadis Pantai memutuskan untuk tidak pulang ke kampung halamannya sendiri. Tapi ia berbelok ke selatan, ke Blora. Selama sebulan setelah kepergiannya, ia selalu mengawasi keadaan rumah si Bendoro. Namun setelahnya, ia tak kelihatan lagi.[4]

E.     Pendekatan Ekspresif
Penulis akan menganalisis novel Gadis Pantai melalui pendekatan ekspresif[5]. Pendekatan ekspresif adalah pendekatan dalam kajian sastra yang menitikberatkan kajiannya pada ekspresi perasaan atau temperament penulis(Abrams, 1981:189). Sebelum lebih jauh menganalisis, penulis mencoba memaparkan sedikit mengenai hal ihwal yang berkaitan dengan karya Gadis Pantai. Gadis Pantai adalah novel yang tak selesai (unfinished). Sejatinya, roman ini merupakan trilogi, diberangus oleh Jaksa Agung rezim Orde Baru pada tahun 1987. “Sekitar bulan-bulan Oktober-November tengah gencar-gencarnya orang membabi-buta melakukan anarki dibeckingi oleh tentara. Mereka membakar buku-buku saya, dan mengambili apa yang saya punya dari rumah saya,” pengakuan Pram kepada Joesoef Isak, editor buku Gadis Pantai.[6] Dalam perjalanannya hingga naik cetak, Pram menyerahkan serba-serbi mengenai pengeditan di Hasta Mitra kepada Bung Joesoef Isak. Hal ini terbukti pada pengakuan Pram sendiri. Berikut pengakuan Pram.(Joesoef Isak 80 tahun 2008: xxvii)[7]

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgqUgfecl__eO2k74Wue4nkWfgZN9n8cIVRby6mM58elbA59cfiJlV2Q5UoUilcrVTqohwMzBjpfAxpyrRx_oaSYYyNKdFhcBrwtolSmAsdNn06hMZ6hzeEqzw7HX1QAGeFGre2FQgErzM/s640/Tulisan-tangan+Pram+.jpg
Berbicara mengenai pengakuan Pram dalam suratnya, ia menjelaskan sendiri bahwa kisah Gadis Pantai merupakan hasil imajinasinya tentang nenek kandungnya dari pihak ibu, yang mandiri dan ia cintai. Pada penceritaannya, Pram pergi ke Jakarta, ia berjanji, kelak jika ia telah mampu cari rezeki akan belikan sarung untuk sang nenek, kemudian Pram menebus janjinya dengan melahirkan Gadis Pantai untuk neneknya yang tak pernah ceritakan sejarah diri, ia bangun cerita dari berita orang lain, dari yang dapat ia saksikan, ia khayalkan, ia tuangkan. Pengakuan ini terdapat dalam pendahuluan novel Gadis Pantai. Selain itu, Pram juga mengakui secara tegas dalam wawancaranya dengan Kees Snoek, ketika ditanya peran nenek dari pihak ibu dalam hidup Pak Pram, ia menjawab, “Gadis Pantai! Dia merupakan sosok wanita yang mandiri. Dia tidak pernah menggantungkan diri pada orang lain. Bahkan pekerjaan paling kasar pun dia kerjakan sendiri.”[8] Fakta lain juga dipertegas oleh adik Pram, yakni Soesilo Toer kepada Suara Merdeka CyberNews/ Rosidi, Kamis (30/12), neneknya tersebut adalah seorang perempuan cantik, berkulit kuning langsat, kulitnya juga lembut, dan bola matanya berwarna biru. "Saya masih ingat sama nenek saya. Beliau orang yang sangat gemati dan sayang sama cucunya," katanya ketika bersama-sama Kepala DKPPOR Blora, Pudiayatmo SE MM, Soesilo Toer (adik Pramoedya) dan Dr Etienne Naveau (INALCO, Perancis), saat berziarah di makam "Gadis Pantai".[9]
Sejatinya setiap penulis memiliki gaya atau ciri khas dalam karya yang dilahirkannya, begitu juga Pak Pram, Ia dikenal sebagai sastrawan yang kian mengangkat karya bertema biografi, menceritakan seorang tokoh atau riwayat seseorang.kalaupun bukan biografis biasanya adalah semi-otobiografis, seperti novel Gadis Pantai ini. Selain itu, karya Pram kebanyakan menguraikan sejarah, dalam sejarah perjuangan melawan penjajah, sejarah pergerakan. Karya Pram juga kebanyakan bertemakan pada kemanusiaan. Setelah tadi kita mendapat sedikit pemerian mengenai Gadis Pantai, beranjak kemudian tentang konflik yang terjadi dalam novel ini.
Berdasarkan tema pokoknya, novel ini berkisah tentang nasib gadis yang di’hadiah’i untung baik menjadi teman seranjang seorang priyayi dan melahirkan anak serta tentang kesewenang-wenangan yang terakhir dan ketakberdayaan di awalnya. Gadis Pantai melambangkan penduduk kampung yang dibodoh-bodohkan dan tak berdaya, yang badan dan jiwanya dikuasai oleh elit kekotaan Jawa, wakil setempat raja-raja di Jawa Tengah.  Berkat gaya cerita yang halus kita mengambil bagian dalam keheranannya, ketakutannya, kesepiannya, kesedihannya, keterhinaannya, amarahnya, dan dengan demikian kita secara sangat intensif menghayati perkembangan Gadis Pantai dari gadis yang polos menjadi wanita dewasa yang penuh kesadaran ideologi. Dalam perjalanan menuju akhir, Gadis Pantai merindukan kehidupan kampung yang polos berbahagia; dalam kemewahan di gedung priyayi (hlm. 53). Novel ini, pada langkah pertama ke arah pembebasan dari penindasan dan penghinaan telah diambil oleh Gadis Pantai: ia mulai sadar tentang kenyataan sosial di tempat hidupnya. Ia tidak dapat kembali ke masa lampau, ia harus maju: ‘Tanpa menengok ke belakang lagi, Gadis Pantai memusatkan matanya ke depan’ (hlm. Terakhir)[10]
Pak Pram menggambarkan konflik-konflik dalam kisah ini begitu nyata. Sepanjang jalan cerita, kita berada dalam kungkungan gedung besar, rumah Bendoro, yang sangat tertutup. Pertentangan antara dua dunia tempat cerita ini berlangsung. Di kota, khususnya di rumah Bendoro, orang tidak hidup sungguh-sungguh, segalanya kaku, dalam hubungan hirarki mematikan setiap spontanitas dan kegairahan. Di kampung nelayan, tempat hidup manusia sejati, dengan suka-dukanya, kepedulian, dan ketakutannya tergembleng oleh perjuangan abadi melawan laut dan bahayanya, bersatu-padu, kuat sama rata. Tidak hanya itu, pertentangan antara Bendoro selaku wakil kelas priyayi melawan Gadis Pantai sebagai wakil rakyat, kekuasaan melawan ketakberdayaan. Pertentangan primer yang tak kalah hebat, adalah stratifikasi sosial dalam kota melawan kesamarataan dalam kampung, gedung besar: kokoh, bersih, apik, tak termasuki orang, melawan gubuk nelayan: kumal, reyot, terbuka bagi setip orang. Kebudayaan kota: wayang, melawan alam: laut, dan perjuangan mati-matian dengan keganasan laut dan angin, dengan kesenian rakyat yang polos. Tantang kekayaan: emas dan hiasan mulia,peragaan milik dan kemewahan.melawan kemiskinan para nelayan yang setiap hari harus mencari sesuap nasi dan yang hanya mempunyai perahu sebagai alat untuk melangsungkan hidup yang gawat. Pertentangan priyai-rakyat,dan keduanya saling memperkuat:kekuasan priyai atas rakyat dan kekuasan laki-laki atas perempuan menjadikan bendoro berkuasa pangkat dua atas Gadis pantai. Ada pertentangan antara baik dengan jahat, kecemasan dan ketakutan, juga setelah kekuasan dari luar dikalahkan. Dan terutama ada konteks ketakadilan sosial yang lebih luas, yang juga menyangkut kampung nelayan, hal ini terdapat dalam bab ketiga.[11] Pak Pram mencoba memaparkan secara jelas perbedaan antara kehidupan kaum priyayi secara umum dengan kenyataan hidup rakyat jelata kampung nelayan: tak tersentuhnya kehidupan dalam gedung bangsawan berjubah kebesaran oleh dunia luar, dengan kebebasan di kampung Gadis Pantai.
            Lagi-lagi Pram menyindir feodalisme Jawa. Tentang stereotip priayi: sangat keras dalam aturan-aturan yang suci, kewibawaan yang tidak boleh dilanggar, kekuasaan yang mutlak. Barang siapa berdosa terhadapnya atau melanggar peraturanyan tak dapat tidak dihukum keras. Pertentangan, perlawanan, protes, tetapi juga penerimaan, kerelaan mustahil. Seorang atau apa pun tidak boleh menganggu ketentraman, mengancam keamananya. Bendoro orang saleh, menghabiskan waktu di ruang sembahyang dan setiap hari membaca buku agama. Tetapi walaupun begitu, ia mewakili sistem yang pada hakikatnya jahat. Sistem itu kita kenal lewat Gadis pantai. [12]  
            Hubungan Pram degan dunia Jawa tempat ia berasal sangatlah dekat. Ia sendiri terlibat dalam masyarakat Jawa yang menunjukkan ciri feodal dengan sistem pelapisan sosial tersebut. Ketidakadilan yang ditimpakan pada manusia yang berasal dari golongan orang kebanyakan (kelas bawah) oleh manusia yang berasal dari golongan priyai (kelas atas). Tokoh-tokoh yang ditampilkan dalam novel ini tentu saja mewakili kelas masing-masing. Pada awal abad ke-20 para bangsawan memiliki gaya hidup berpoligami mempunyai istri utama (garwa padmi) yang sama-sama berasal dari kaum bangsawan dan memiliki istri selir yang boleh berasal dari golongan kelas bawah. Kehidupan di dalam gedung semakin menampakkan bentuk ketidak samaan dan ketidakadilan. Sebuah masyarakat feodalistis yang kelewat kental, gaya pemerintahan otoriter, dunia kepriyayian yang penuh kesewenang-wenangan, tak berperasaan.[13]
Sebagaimana pengakuan Pram kepada Kees Snoek ketika ditanya peran budaya Jawa dalam perkembangan bangsa Indonesia, Ia menjawab, ”Saya lahir sebagai orang Jawa. Sewaktu berumur 17 tahun, saya mulai mengkritik budaya Jawa. Kalau saya mengikuti pola budaya Jawa, saya pasti tetap menjadi seorang budak. Budaya Jawa sangat mementingkan kelas.” dan ketika ditanya tentang budaya Jawa yang feodal, ia menjawab, ”Ya. Jika budaya Jawa dipakai sebagai ukuran, hanya ada satu orang ditempat teratas yang dianggap sebagai wakil Tuhan di bumi. Itulah dasar budaya jawa.”[14] Di sini, jelas terlihat bahwa Pram ingin menyiarkan pada dunia kejamnya feodalisme yang terjadi di Jawa, sekaligus mengkritik kaum priyayi. Kaum saleh yang yang dianggap paling beriman, paling suci, rajin ibadah, tetapi secara sengaja menyakiti sesama manusia, begitu merendahkan perempuan yang bukan berasal dari golongannya, Ia juga menghindarkan dirinya dari tanggung jawab sosial, yakni bermasyarakat. Karena sesungguhnya ’manusia yang baik adalah yang bermanfaat untuk manusia’(Hadist Riwayat....). Yang perlu kita ingat, yang jahat bukanlah sang tokoh Bendoro, tetapi sistem. Meski sang tokoh juga mengamini sistem tersebut. 
            Kemudian Pram nampaknya ingin mengkritisi unsur keberagamaan dalam karyanya, dalam hal ini Islam. Tokoh Bendoro yang digambarkan sebagai manusia saleh dengan Islamnya sebagai keseluruhan kewajiban-kewajiban formal yang menyokong kekuasaan, sementara Gadis Pantai dan rakyat kampung nelayan memiliki kepercayaan di mana manusia tergantung pada kekuatan alam. Rupanya sejalan dengan ideologi Pram, yakni sebagaimana pengakuannya kepada Kees Snoek, ”ideologi ditanamkan di dalam diri saya oleh keluarga saya, yaitu cinta akan keadilan, kebaikan dan alam, serta nasionalisme....” [15] Pernyataan Pak Pram itu bukan berarti Ia tidak Islam. Menempatkan Pram dalam bingkai agama(Islam) tidaklah mudah, ada kalangan yang mendakwa bahwa Ia adalah komunis. Dan memang, dalam beberapa karyanya, Pram mempersoalkan tingkah kaum beragama dengan sinis, seperti  dalam Gadis Pantai ini. Tokoh-tokoh yang digambarkan dalam karyanya adalah tipikal sempurna manusia beragama secara ekstrinsik. Pram, juga memandang agama dengan sangat kritis. Dan tak perlu diragukan, Pram adalah seorang muslim seperti muslim pada umumnya: Allah Tuhannya, Muhammad nabinya. Kakeknya dari pihak ibu adalah seorang haji dan priyayi Jawa. Bahkan, ia juga pernah ke tanah haram bersama ayandanya menunaikan ibadah haji dan beberapa saat studi bahasa, sosiologi, dan filsafat di Sekolah Tinggi Islam Jakarta (sebelum ditutup ketika perang antara Jepang dan Sekutu meletus) dengan HM Rasjidi sebagai guru filsafatnya. Itu diakuinya sendiri.Tapi, “Aku tetaplah pemeluk Islam statistik,” tulis Pram dalam catatan biografinya, Nyanyi Sunyi Seorang Bisu (edisi revisi, 2004: 140). “Aku memang dari keluarga Islam dan tak pernah berpikir lain daripada Islam. Konsep filsafat dan tauhid atau teologis dalam masyarakat dan lingkungan hidupku tercampur aduk dengan kebatinan, karena sejak umur limabelas terpengaruh oleh bacaan yang sudah tercampur dengan gaung konsep Yahudi dan Hellenisme tanpa sistimatika. …”[16]











BAB III
PENUTUP
Kesimpulan

Setelah melakukan analisis terhadap novel Gadis Pantai dengan pendekatan ekspresif, penulis dapat menyimpulkan bahwa  Pramoedya dalam karyanya ingin menyoroti beberapa hal yang dianggap paling penting untuk dikritisi. Mengenai kejahatan sistem feodalisme Jawa pada masa itu,  dan hal yang tak kalah penting adalah kritik terhadap kaum taat beragama tetapi nihil dalam perilaku akhlak sesama manusia. Dan setidaknya Pramoedya ingin memberi kita pesan bahwa pentingnya  kesadaran akan tanggung jawabnya sebagai manusia untuk selalu berpihak pada kebenaran dan keadilan dalam setiap usaha untuk memperbaiki kehidupan.


























Daftar Pustaka


·         Wahyudi Siswanto. Pengantar Teori sastra.  (Jakarta:Grasindo, 2008). H.181-182

·         August Hans den Boef dan Kees Snoek. Saya Ingin Lihat Semua ini Berakhir: Esai dan Wawancara dengan Pramoedya Ananta Toer.  (Jakarta:Komunitas Bambu, 2008) H.114-115

·         Teeuw, A. Citra Manusia Indonesia dalam Karya Sastra Pramoedya Ananta Toer. (Jakarta:Pustaka Jaya, 1997). hal 214-229.


·         Anonim. “Definisi Novel,” Diunduh pada tanggal 1 april pukul 13.00  http://kamusbahasaindonesia.org/novel#ixzz1sMbTBGZd.

·         Moh Syafiruddin . “Unsur Pembangun Novel,” Diunduh pada tanggal 1 april pukul 11.00 http://www.syafir.com/2011/03/30/unsur-unsur-novel.

·         Anonim, “Biografi Pramoedya Ananta Toer,” Diunduh pada tanggal 4 april pukul 20.00. http://id.wikipedia.org/wiki/Pramoedya_Ananta_Toer.

·         Aris. “Sinopsis Novel Gadis Pantai.” Diunduh pada tanggal 20 april pukul 10.00

·         Sghriwo. “Pramoedya Ananta Toer. Gadis Pantai.” Diunduh pada tanggal 20 april pukul 12.13 http://www.hastamitra.org/2010/08/pramoedya-ananta-toer-gadis-pantai.html

·         Joesoef Isak . “Novel Pramoedya Ananta Toer, Gadis Pantai.” Diunduh pada 29 maret 2012 pukul 11.19. http://www.hastamitra.org/2011/12/novel-pramoedya-ananta-toer-gadis.html
·         Rosidi. “Mata Biru Si Gadis Pantai.” Diunduh  pada tanggal 19 april pukul 8.00. http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/kejawen/2010/12/30/519/Mata-Biru-Si-Gadis-Pantai-


·         Bekti Patria. “Membongkar ketidakadilan kekuasaan priyayi dalam Masyarakat Tradisional Jawa”. Diunduh pada tanggal  29 april pukul 07.05. http://bektipatria.wordpress.com/2009/10/14/ulasan-novel/
·         Muhidin M Dahlan. “Agama Pramoedya Ananta Toer: Ateis, Teis, atau Pramis.” Diunduh pada 12 april pukul 10.00. http://indonesiabuku.com/?p=370


[1]Anonim. “Definisi Novel,” Diunduh pada tanggal 1 april pukul 13.00  http://kamusbahasaindonesia.org/novel#ixzz1sMbTBGZd.
[2]Moh Syafiruddin . “Unsur Pembangun Novel,” Diunduh pada tanggal 1 april pukul 11.00 http://www.syafir.com/2011/03/30/unsur-unsur-novel.
[3] Anonim, “Biografi Pramoedya Ananta Toer,” Diunduh pada tanggal 4 april pukul 20.00. http://id.wikipedia.org/wiki/Pramoedya_Ananta_Toer.
[4] Aris. “Sinopsis Novel Gadis Pantai.” Diunduh pada tanggal 20 april pukul 10.00
 http://aris-pustaka.blogspot.com/2006/10/gadis-pantai.html.
[5] Wahyudi Siswanto. Pengantar Teori sastra.  (Jakarta:Grasindo, 2008). H.181-182


[6] Sghriwo. “Pramoedya Ananta Toer. Gadis Pantai.” Diunduh pada tanggal 20 april pukul 12.13 http://www.hastamitra.org/2010/08/pramoedya-ananta-toer-gadis-pantai.html

[7] Joesoef Isak. “Novel Pramoedya Ananta Toer, Gadis Pantai.” Diunduh pada 29 maret 2012 pukul 11.19. http://www.hastamitra.org/2011/12/novel-pramoedya-ananta-toer-gadis.html

[8] August Hans den Boef dan Kees Snoek. Saya Ingin Lihat Semua ini Berakhir: Esai dan Wawancara dengan Pramoedya Ananta Toer.  (Jakarta:Komunitas Bambu, 2008) H.114-115


[9] Rosidi. “Mata Biru Si Gadis Pantai.” Diunduh  pada tanggal 19 april pukul 8.00. http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/kejawen/2010/12/30/519/Mata-Biru-Si-Gadis-Pantai-

[10] Teeuw, A. Citra Manusia Indonesia dalam Karya Sastra Pramoedya Ananta Toer. (Jakarta:Pustaka Jaya, 1997). hal 214-229.

[11] (Ibid).
[12] (Ibid).
[13] Bekti Patria. “Membongkar ketidakadilan kekuasaan priyayi dalam Masyarakat Tradisional Jawa”. Diunduh pada tanggal  29 april pukul 07.05. http://bektipatria.wordpress.com/2009/10/14/ulasan-novel/

[14] August hans den boef, Kees Snoek. Saya Ingin Lihat Semua Ini Berakhir: Esai dan Wawancara dengan Pramoedya Ananta Toer. (Jakarta: Kamunitas Bambu, 2008).  hal 166-167.

[15] (Ibid).
[16] Muhidin M Dahlan. “Agama Pramoedya Ananta Toer: Ateis, Teis, atau Pramis.” Diunduh pada 12 april pukul 10.00. http://indonesiabuku.com/?p=370

Comments